Cinta Hanya Dia

Aza Muliana
Chapter #6

Kampung Halaman

Manzila tidak ingin merepotkan kedua orang tua dan adik-adiknya. Sebelum berangkat, ia sudah menghungi pihak rental mobil agar menjemputnya di bandara. Setelah hampir lima puluh menit berada di angkasa, pesawat kecil yang membawanya mendarat di Bandar Udara mungil Meulaboh. 

Sebaik saja keluar dari ruang tunggu, ia langsung menuju mobil yang menantinya di bagian depan bangunan. Senyum sang supir yang baru saja dihubunginya melalui ponsel menyambutnya. Lelaki paruh baya itu hanya mengucapkan selamat datang padanya, kemudian mengambil barang bawaanya dan menyusun di bagasi. Ia segera naik tepat di belakang supir. Beberapa menit kemudian, lelaki itu memacu kendaraan menuju jalan keluar dari Bandara.  

Melintasi jalan kota kabupaten, mobil melaju selama kurang lebih satu jam. Saat memasuki jalan desa yang kecil, matanya tidak lepas menatap hamparan sawah yang menghijau. Padi-padi yang menguning menyejukkan mata di antara hawa hangat mentari senja. Pemandangan sawah yang menyapa matanya diselingi oleh ladang sawit dan kebun sayur. Sampai di perbatasan, jembatan gantung penghubung desa tidak bisa dilewati oleh mobil, sehingga ia harus menghubungi salah satu adiknya dan meminta dijemput. Selama kurang lebih lima belas menit kemudian, dua sepeda motor berhenti tepat di depan mobil.

Salah satu pengendaranya seorang lelaki bertubuh kekar dan berkulit hitam turun, lalu menghampirinya. Dengan santun, lelaki itu menyalaminya, sembari memperkenalkan diri sebagai adik iparnya. Uluran tangan suami Nurbaeti disambutnya, sembari tersenyum tipis. Mata lelaki itu menoleh pada seorang pemuda yang berdiri di belakangnya. Seruannya dalam bahasa lokal membuat pemuda tanggung bertubuh kurus dan berkulit coklat itu langsung mengangkat koper pakaiannya. Kedua kopernya telah terikat kuat di atas sepeda motor pemuda tersebut, sementara ia duduk di boncengan adik iparnya.

Jantungnya hampir saja lepas, ketika menyeberangi jembatan yang bergoyang saat dilewati. Dulu, ia merasa biasa saja pulang pergi setiap hari melintasi jembatan. Mungkin, setelah lama tidak merasakan sensasi goyangan jembatan tersebut, hatinya bergetar takut ketika kembali berada di atasnya. Ia merasa seolah-olah tali baja pengikat jembatan akan putus, ketika menerima beban mereka. Tubuhnya pasti akan hilang ditelan sungai, jika jatuh ke dalam air yang kuning dihiasi riak gelombang kecil. Dalam kondisi takut seperti sekarang, ia lupa kalau dirinya sudah mahir berenang.

Rumah sederhana milik orang tua Manzila, diramaikan oleh kehadiran sanak saudara yang datang untuk menyambut kepulangannya. Keluarga intinya menunggu di teras rumah. Ayah menyambut hangat uluran tangannya, sekian tahun tidak bertemu, rambut ayah semakin banyak putihnya. Mamak menolak tangan yang ingin menyalami, tetapi tubuhnya dipeluk erat dengan banjiran air mata.

“Pulang juga kau, Nak.” Suara sendu Mamak menyambut tubuh lelahnya, “Mamak pikir, sudah lupalah kau sama kami semua di sini.”

“Enggak mungkinlah Ila lupa, Mak. Illa minta maaf, baru pulang sekarang.”

“Tidak apa-apa, Nak. Kau sudah pulang saja, Mamak sudah sangat bersyukur.”

Lihat selengkapnya