Seluruh anggota keluarga telah berkumpul di ruang makan. Sebelum bergabung, ia memperhatikan setiap sudut. Satu lukisan buah-buahan menghiasi dinding bagian kanan pintu dapur, sementara dinding yang sebelah kiri tersusun rapi beberapa bingkai berisi photo mereka sekeluarga. Tidak ada meja dan kursi makan. Semua masakan hasil tangan Mamak dan kedua adiknya telah tersusun rapi di atas ambal yang digelar di lantai. Warna merah ambal dengan motif daun dan bunga berwarna kuning membuat hidangan terlihat indah tertata.
Mereka menikmati makan malam, sambil mendengarkan celoteh anak-anak dan juga pertanyaan Ayah dan Ibu tentang pekerjaan Manzila. Seluruh mata tertuju padanya, ketika ia bercerita tentang pekerjaanya dan bagaimana keadaan kota Jakarta. Setiap kalimat yang keluar dari bibirnya di sambut rasa kagum dari mata kedua adik dan ipar, serta anak-anak mereka.
“Waaaah, hebatnya, Kakak. Berarti Kakak di sana dipanggil boslah, ya?”
Pertanyaan polos Nurbaeti membuat hati Manzila menjadi geli.
“Ya, enggaklah, Bet. Masak pangil Bos? Mereka ada yang Panggil Mbak, ada juga Ibu. Tergantung kedekatan mereka dengan Kakak.”
Nurbaeti mengangguk berali-kali, sambil mengunyah pelan.
“Mamak pengen kalilah ke Jakarta. Kapan-kapan Mamak diajak ke sana, ya?”
“Iya, Mak.”
Manzila mengangguk dan berjanji akan membawa Mamak. Akibatnya, semua yang ada di ruangan itu meminta untuk diajak juga, kecuali Ayah. Lelaki paruh baya itu hanya diam mendengarkan cerita putri sulungnya.
“Iya, iya. Semuanya akan dibawa ke Jakarta. Tapi, bergantian, ya?”
“Iya, Tante.....” Semua keponakannya menjawab dengan wajah ceria.
Setelah satu demi satu menyelesaikan suapan terakhir, serta menghabisan sisa minuman, Ayah meminta cucu-cucunya untuk bermain di teras. Perintah lelaki yang masih tegap dan berwibawa itu dipatuhi. Lima anak yang semula tenang di kursi menjadi gaduh, ketika bangkit dan berdiri, kemudian saling berlomba berlari keluar ruang makan. Kedua adik ipar Manzila juga mengambil posisi mengundurkan diri dengan pamit pada Ayah dan Mamak untuk meninggalkan ruangan. Bersama, mereka beranjak, kemudian melangah menuju ruang depan.
Keheningan menyelimuti ruangan, ketika semua mata tertuju pada Manzila. Sebelum menjejakkan kaki di rumah, ia sudah cemas pada pertanyaan kedua orang tua dan adik-adiknya tentang Benjiro. Ia takut, mereka akan menjadikannya sebagai kunci pembicaraan.
“Kenapa kau pulang sendirian? Kata Mak Womu, kau mau membawa pacarmu yang orang Jepang itu?”
Manzila ingin menjelaskan tentang hubungannya dengan Benjiro. Namun, urung saat menatap Ayah yang memasang wajah masam.
“Mana pacarmu, itu?”
Ah, Ayah pasti sudah tahu alasannya dari Mak Wo. Ayah sengaja bertanya, supaya ia merasa bersalah karena menjalin cinta dengan lelaki asing yang beda keyakinan.