Sudah dua kali lelaki itu mondar mandir di depan rumah kayu dengan model rumah panggung modern. Tubuh kekarnya dibalut kaos putih oblong lengan pendek, celana kain berhias banyak kantong dan sepatu kets hitam. Ia kembali memacu motornya lewat di depan rumah tersebut dan ingin berhenti sekejap di depan pintu pagar kayu, namun kehadiran ayah Manzila mengurungkan niatnya. Sebelum orang tua itu mengetahui kehadirannnya, kemudian memanggilnya, ia pun segera memacu cepat kuda besi tanpa menoleh lagi.
Setelah berada kurang lebih dua ratus meter, lelaki hitam manis itu menghentikan motor besarnya di bawah pohon rindang. Matanya menatap lepas rumah orang tua Manzila. Ia sangat berharap bisa melihat Manzila, namun ia tidak melihat tanda-tanda wanita itu berada di luar, juga di sekitar rumah.
Ketika Manzila tiba di desa, kemudian di jemput di batas desa, Aslan berada tidak jauh dari wanita itu. Ia terpaku melihat wajah yang pernah membuat dadanya berdesir sewaktu SMP dahulu. Waktu masih sekolah, wajah Manzila manis dengan kulit coklat bersih. Kini, wajah itu putih laksana pualam, kulit yang hanya sedikit terlihat juga putih. Wanita itu pasti menjaga dan merawat diri dengan baik, sehingga wajah manis itu menjelma menjadi cantik jelita. Kecantikan itu semakin terserlah dengan pakaian dan hijab modis yang membalut tubuh.
Penampilan Manzila semakin menambah rasa yang telah hadir di hati Aslan. Kenangan pada masa-masa sekolah dahulu kembali memenuhi memorinya. Debaran indah di dadanya sudah hadir, semenjak pertama kali menatap wajah manis Manzila. Saat itu, hari pertama ia bersekolah. Ia merasa enggan masuk ke dalam bangunan sekolah dan duduk di bangku kayu di bawah pohon sawit. Matanya yang tengah asyik menatap game watch beralih pada suara seseorang yang sedang memanggil. Gadis berjilbab putih menarik perhatiannya, apalagi gadis manis itu melambai dan tersenyum. Mendapat sapa dan keramahan itu, ia membalas dengan menyunggingkan bibir. Sesaat ia terpaku, ketika gadis itu hanya berlalu di sampingnya, kemudian melnagkah cepat mendekati seorang gadis yang menyambut gembira. Ia masih termanggu menatap kedua gadis yang sama-sama memakai jilbab putih itu. Mereka saling bergandengan tangan memasuki bangunan sekolah.
Meski senyum gadis manis yang belakangan diketahuinya bernama Manzila bukan ditujukan untuknya. Tetapi, wajah itu telah memaku hatinya sampai membuat dadanya berdebar indah. Sepanjang hari di sekolah, ia tidak mampu melupakan gadis manis itu. Dan, ketika di rumah pun wajah itu selalu membayanginya, hingga terbawa ke alam mimpi. Saat terbangun di pagi hari, ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa dan perasaan itu menyadarkannya kalau ia telah jatuh cinta.
Setiap hari, ketika berada di sekolah, ia selalu melihat Manzila secara diam-diam. Ingin sekali ia mengungkapkan perasaannya pada gadis itu, hanya saja ia malu untuk menyatakannya. Mereka masih kecil untuk terlibat dalam sebuah hubungan cinta. Setelah satu minggu memendam rasa cinta, akhirnya ia tidak tidak mampu lagi menyimpan perasaannya dan mengungkapkannya secara langsung. Namun, apa yang dilakukannya membuat gadis itu menjaga jarak. Hingga, Ayah menjemputnya dan membawanya kembali ke Medan.
“Bang Aslan? Abang lagi ngapain di sini?”
Sapa seorang wanita melepaskan ingatan Aslan dari masa lalu. Matanya beralih pada seorang wanita yang mengendarai motor matic.
“Eh, saya lagi....” Wajah Aslan bingung, “ Lagi mau batulin kereta ini.” Ia langsung turun dan memeriksa keadaan motornya.
“Memangnya, kenapa kereta, Abang?” wanita itu memasang standar motornya, lalu turun dan mendekati Aslan yang sedang berjongkok.
“Mogok.” Senyum Aslan terarah pada wanita berhijab hitam itu. Sebelum wanita itu ikut jongkok di sisinya, ia segera bangkit.
Aslan berpura-pura berusaha menghidupkan mesin. Sesaat kemudian, suara motornya terdengar memenuhi udara.
“Ah, akhirnya bisa hidup!” Aslan berteriak seolah-olah gembira, “Saya pulang dulu, ya?” tanpa menunggu jawaban, ia membawa motor melaju kencang meninggalkan wanita itu yang termanggu.
“Yah, kok, pulang? Bang! Bang Aslan!” wajah wanita itu memancarkan kekecewaan.
Aslan sengaja mengabaikan panggilan wanita itu. Ia tidak ingin berbicara lama dengan wanita yang menyukainya itu. Saat motornya melintasi jalan batu yang dikanannya terhampar sawah, matanya tertumbuk pada seseorang yang berdiri di tengah jalan.
“Bang Aslan!” wanita yang memakai selendang kuning melambaikan kedua tangan.
Mata Aslan membulat melihat wanita itu. Ia terpaksa menarik rem tangan dan menghentikan laju motor.
“Abang mau pulang, kan?” Wanita itu mendekat dengan senyum manis terkembang, “Saya numpang, ya?”
Tanpa menunggu sahutan Aslan, wanita itu naik di boncengan.
“Kamu mau ke mana?” Dahi Aslan berkerut.
“Rumah Abang, kan, lewati rumah saya?”