Cinta Hanya Dia

Aza Muliana
Chapter #9

Dilanda Cinta

Matahari belum lagi terlihat, Aslan sudah berdiri di halaman rumah. Pakaian olah raga yang baru dibeli terlihat pas di tubuh tegapnya. Ia tidak menyadari ayahnya yang baru selesai memasak mencarinya di kamar.

“Ke mana, ya? Kok nggak ada di kamar?” Ayah Aslan bergumam, seraya melangkahkan kaki menuju ruang depan.

Dahi Ayah Aslan berkerut melihat putranya sedang menggerak-gerakkan tubuh. Sudah hampir dua tahun mereka kembali ke kampung halamannya ini. Tetapi, tidak pernah satu kali pun ia melihat putranya berolah raga. 

“Biasa sajalah, Yah. Kenapa heran kayak gitu?” Aslan bisa membaca pikiran ayahnya yang berdiri tidak jauh darinya.

“Karena tidak biasalah, makanya Ayah mau tanya.” 

“Tanya apa, Yah?” Aslan berucap, sementara posisinya bergerak merenggangkan tubuh. 

“Pasti ada apa-apanya ini, kalau masih subuh lagi, kau sudah olah raga.”

“Enggak ada apa-apa, Yah. Sudah lama Lan enggak olah raga. Badan rasanya sudah berat.” Aslan memasang senyum dengan gerakan tubuh naik turun.

Ayah Aslan mengangkat bahu, sambil menghela napas.

“Kalau sudah siap, sarapan dulu, Ayah sudah masak nasi goreng kesukaanmu.”

“Beres, Yah.” Aslan mengacungkan salah satu jempol tangan dan mengedipkan mata kanan.

Sebelum melangkah masuk ke rumah, Ayah Aslan kembali menatap putranya. Sejak didengarnya Manzila pulang, ada saja hal baru yang dilakukan putranya. Mulai dari memangkas klimis rambut ikal yang biasa dibiarkan panjang hampir sebahu. Lalu, membeli parfum dan minyak rambut lelaki. Ia merasa semua itu tidak ada salahnya, karena putranya semakin ganteng. Hanya saja, ia merasa sedikit tidak suka, kenapa harus anak perempuan Teuku Zaini? 

Selama tiga puluh menit berlari mengelilingi rumah, juga menggerak-gerakkan tubuh, Aslan merasa sedikit lelah. Lama tidak melakukan olah raga, ia merasa seluruh tubuhnya kaku saat merengangkan tubuh. Ia pun mengakhiri senam dengan melakukan pendinginan.

Aslan meraih handuk kecil dari salah satu batang pohon jambu, lalu menghapus seluruh keringat yang membanjiri tubuh. Peluh yang telah hilang menyisakan kegerahan, ia pun memutuskan untuk mandi. 

“Sudah selesai olah raganya?” Ayah Aslan sedang menikmati secangkir kopi hangat di teras rumah.

“Sudah, Lan mau mandi.” Aslan akan melangkah masuk, namun urung dan menatap ayahnya, “Jam berapa orang yang mau menjual sawit datang, Yah?”

“Sebentar lagi, mereka datanglah.” Ayah Aslan berkata, sembari melihat jam tangan, “Jangan lupa, kau harus ke kilang pagi ini.” 

“Iya, Yah. Lan enggak lupa” Aslan mengangguk, kemudian masuk dan melangkah menuju kamar untuk mengambil handuk.

Aslan memang tidak lupa pada tugasnya di pagi ini. Ia harus mengawasi beberapa penduduk desa yang akan menjual hasil panen. Selain memiliki kilang padi sebagai bisnis, ia juga menjadi agen penerima buah sawit. Jika kilang padi baru satu tahun menjadi usahanya, menjadi agen penerima buah sawit sudah dijalankannya, sejak pertama menginjakkan kaki di desa. Dua bisnis tersebut menjadi penunjang bagi kebutuhan hidup ia dan ayahnya. 

Lihat selengkapnya