“Hai! Kenapa berhenti? Ayo, jalan.”
Manzila menoleh ke belakang. Seorang lelaki yang mengendarai motor besar tersenyum padanya.
“Kamu lewat saja. Saya enggak nyeberang.” Manzila menuntun sepedanya ke pinggir.
“Kenapa?”
Manzila tidak menjawab tanya lelaki itu.
“Kamu takut, ya?”
Manzila masih diam saat memutar sepeda, lalu menaikinya dan mengayuhnya melewati lelaki itu.
Aslan sesaat termanggu mendapat reaksi dingin Manzila.
“Hai! Mau ke mana?”
Wanita itu tidak membalas panggilannya. Aslan pun memutar motornya dan membawanya mengejar Manzila.
“Pelan-pelan saja jalannya.”
Manzila menoleh sekilas pada lelaki yang memacu pelan motor di sampingnya. Tanpa senyum, ia kembali menatap lurus ke depan. Ia tidak menyukai lelaki yang tidak dikenal mengikuti. Meski, wajah lelaki itu memancarkan sinar keramahan.
“Kenapa cemberut? Senyumlah, senyum, kan sebagian dari iman.”
Manzila semakin ketat memasang wajah. Ih, bisa-bisanya laki-laki ini menyuruhnya senyum, pakai bawa-bawa iman segala? Hatinya bertambah kesal, apalagi pria itu berkata dengan senyum yang membuat wajah berdagu belah itu bertambah manis.
Aslan tidak mau menyerah, meski wajah dan suaranya yang ramah tidak mampu menarik perhatian Manzila.
“Pagi-pagi kayak gini, kalau naik sepeda bagus untuk kesehatan. Tapi......” Aslan sengaja menggantung kalimatnya untuk menarik perhatian Manzila.
Hanya saja, wanita itu sama sekali tidak menoleh dan mengayuh sepeda semakin kencang. Aslan mengimbanginya dengan menambah kecepatan motornya.
“Tapi, saya tidak punya sepeda. Kalau saya beli, kamu mau naik sepeda bersama saya?”
Hati Manzila terasa geli mendengar ucapan yang penuh rasa percaya diri lelaki itu. Ditahannya wajah agar bibirnya tidak mengurai senyum. Ia tidak menyangka ada lelaki yang masih gigih berbicara, meski ia bersikap cuek dan dingin. Sepeda dikayuhnya sekuat tenaga untuk menghindari lelaki itu, namun kecepatannya bisa diimbangi, sehingga ia mulai merasa lelah. Sepeda yang dikayuh kencang hampir menghabiskan seluruh tenaganya.
“Jangan kencang-kencang dayung sepedanya. Nanti kamu kelelahan” Aslan menatap titik-titik peluh yang menghiasi wajah Manzila.
Manzila tidak mau mengurangi kecepatan sepedanya, rumahnya sudah terlihat dan ia ingin segera sampai agar lelaki itu pergi dari pandangannya.
Nurbaeti yang sedang menyapu halaman menghentian gerak tangan melihat kehadiran Manzila dan seorang lelaki yang dikenalnya.
“Ih, romantis sekali. Kak Ila naik sepeda, Bang Lan di sampingnya.” Nurbaeti berkata lirih, senyumnya mengembang dan matanya bersinar melihat Kakaknya dan Aslan.
Manzila yang mengayuh sepeda memasuki halaman diikuti oleh Aslan.
“Jalan-jalannya sudah, Kak?” Nurbaeti menyambut Kakaknya, sementara senyumnya tertuju pada Aslan.