Cinta Hanya Dia

Aza Muliana
Chapter #11

Keputusan Yang Sulit

Manzila masuk ke kamar, menutup pintu dan menuju ke kursi yang berada di meja rias. Ia duduk, sambil menatap wajah berpeluhnya di depan cermin. Bayangan sosok Aslan yang baru, hadir dalam pelupuk matanya. Saat mereka masih bersekolah, ia hanya beberapa kali bertatap muka dengan lelaki itu dalam waktu yang singkat. Hanya satu yang diingatnya, lelaki bertubuh tinggi kurus dan berkulit hitam itu memiliki dagu belah yang menghiasi wajah. Kemarin, sewaktu pertama kali bertemu, ia melihat dagu itu, namun ia tidak menyadari kalau pemiliknya adalah pemuda sama yang pernah dikenalnya dulu.

Dengan siku bertumpu pada meja rias, kedua tangan Manzila menahan dagu, sementara pikirannya fokus pada Aslan. Sosok lelaki itu berubah sangat banyak, sehingga wajar saja ia tidak mengenalnya. Setelah mengetahui lelaki yang beberapa hari ini mendekatinya adalah Aslan, kenapa ia jadi memikirkan lelaki itu? 

Sambil membuang napas lelah, Manzila bangkit dan berjalan mendekati rak kayu. Diraihnya handuk yang tergantung, lalu melangkah menuju pintu. Lebih baik, ia membasuh diri. Mungkin, sosok Aslan akan enyah dari pikirannya, setelah tubuhnya segar. Meski, perasaannya mulai tertarik pada kehadiran wajah manis dan menawan dengan tatapan lembut dari bola mata coklat muda itu, namun ia belum siap menyingkirkan Benjiro dari hatinya.

Kaos lengan panjang warna putih dan rok panjang biru tua membungkus tubuh Manzila. Setelah jilbab persegi hitam menutupi kepalanya dengan model sederhana, ia berniat akan bergabung dengan seluruh keponakan yang sedang berkumpul di ruang tengah. Namun, langkahnya urung saat suara mamak memanggil. 

Wajah Mamak muncul dari balik pintu, sebelum Manzila sempat membukanya.

“Ada apa, Mak?” 

“Mamak mau bicara.” Mamak Manzila Meraih tangan kanan putrinya, kemudian menariknya pelan. 

Mereka duduk slaing berdampingan di pembaringan, Mamak Manzila menatap putrinya dan menghela pelan napasnya.

“Malam ni, Seunangke dari pihak keluarga Aslan datang.”

Sesaat, Manzila terpaku. Jika lelaki yang bergelar seunangke datang, artinya ia harus menjawab lamaran keluarga Aslan.

“Mamak mohon, Ila. Kau terimalah lamaran itu dan, jangan bertengkar lagi dengan Ayah.”

“Tapi, Mak. Ila beum siap untuk menikah.” Manzila berucap lirih.

“Tidak baik menolak jodoh, Ila. Lagipula, Aslan itu lelaki baik, kau, kan, sudah kenal sama dia.”

“Iya, Mak. Tapi, Ila masih cinta sama Ben.”

Mamak merenung wajah Manzila sekejap, sebelum menasehati putrinya agar melupakan Benjiro. lelaki yang tidak memegang janji tidak bisa dijadikan imam yang baik. Manzila membantah ucapan Mamaknya. Ia yakin, Benjiro tidak mungkir pada janji, lelaki itu pulang ke negaranya hanya untuk menguatkan hati agar bisa menjadi pendamping hidupnya. 

“Mamak tetap tidak setuju, kalau kau menungu lelaki yang tidak jelas kabar beritanya. Kalau kau masih sayang sama Mamakmu ini, menikahlah sama Aslan. Tinggallah di sini, Mamak ingin melihat kau menikah dan punya anak, sebelum Allah memanggil Mamak.” Mamak Manzila berkata tegas, seraya membelai rambut putrinya, kemudian bangkit dari pembaringan.

Manzila menatap Mamak yang keluar dari kamar dan menutup pintu. Setiap ucapan Mamak membuatnya tercenung, hingga hatinya membias ragu. Keyakinanya pada Benjiro yang akan kembali padanya mulai goyah, ia memikiran mamak yang sangat mengharapkan dirinya untuk menikah. Ia bisa menungu kekasihnya berapa lama pun itu, namun bagaimana jika lelaki yang ditunggunya memang tidak akan pernah kembali padanya? Apakah ia harus menunggu untuk selamanya?

Lihat selengkapnya