Seluruh keluarga sudah duduk manis di depan hidangan, mereka menunggu Manzila. Hampir dua puluh menit berlalu, orang yang dinanti tidak kunjung hadir.
“Panggilkan Kakakmu, Bet. Mungkin, habis solat Kakakmu tidur.” Mamak menatap Nurbaeti.
“Iya, Mak.” Nurbaeti segera melaksanakan peirntah Mamaknya dengan beranjak dari samping suaminya.
Wanita berkulit putih itu mengarahkan kakinya mendekati kamar Manzila. Diketuknya pintu dan menunggu suara Kakaknya. Ia kembali mengetuk, ketika tidak didengarnya sahutan dari dalam. Sesaat menanti masih tidak terdengar suara Manzila, ia pun meraih gagang pintu, lalu membukanya.
Tubuh Kakaknya terbungkus selimut tebal, sementara kedua mata tertutup erat. Saat memegang lengan Manzila, ia kaget merasakan tangan yang hangat.
“Kak! Kak Ila......!” Nurbaeti memanggil lirih, sembari menggoyang pelan lengan Kakaknya.
Manzila menggeliat dan matanya terbuka. Tatapan sayu, serta wajah pucat Kakaknya membuat Nurbaeti cemas. Ia langsung memegang dahi, serta kedua pipi yang terasa hangat di telapak tangan kanannya.
“Kakak sakit, Beti kasi tau Mamak, ya?”
Manzila ingin mencegah, namun tubuhnya terasa sangat lemah. Akhirnya, ia hanya menatap adiknya yang berjalan cepat dan keluar dari kamar. Ia tidak tau apa yang telah terjadi pada dirinya. Tadi malam, setelah utusan keluarga Aslan pulang, ia segera masuk ke kamar. Tidak sanggup rasanya berhadapan dengan wajah-wajah bahagia keluarganya, sementara hatinya retak berkeping-keping.
Ia memang setuju menerima lamaran keluarga Aslan, namun lubuk hatinya yang paling dalam belum menerima lelaki itu sebagai calon imamnya. Sepanjang malam, wajah Benjiro menguasai pelupuk mata. Ingin dienyahkannya bayangan lelaki itu, tetapi semakin ia berusaha, hatinya bertambah nyeri, hingga tanpa disadari cairan bening mengalir deras, tanpa suara isakan.
Kenangan indah saat mereka merajut hari, hadir silih berganti di dalam bayangan. Pertemuan pertama dirinya dan Benjiro turut menambah luka di hatinya. Luka itu menimbulkan getaran hebat pada tubuhnya, hingga mengelurakan peluh. Dengan tangan bergetar, ia meraih selimut dan menutup seluruh tubuh. Sesaat memejamkan mata, ia merasa dirinya melayang di antara sadar dan tidak.
Bunyi alarm ponsel menyentaknya dari tidur. Ia merasa kepalanya sakit, tubuhnya yang dingin membuatnya menggigil. Jika tidak teringta pada kewajiban lima waktu, ia pasti akan kemballi memejamkan mata. Meski sulit untuk menggerakkan tubuh, ia memaksakan diri, hingga mampu untuk bangkit. Dengan tubuh agak limbung, ia berjalan menuju pintu keluar.
Setelah mengambil wudhu, ia menunaikan sholat subuh. Karena tidak sanggup menahan sakit yang menguasai seluruh tubuh, diakhirinya ibadah dengan doa singkat, lalu bangkit dan melepaskan mukena, serta sarung. Tanpa sempat merapikan peralatan sholat, kakinya bergerak cepat menuju pembaringan untuk merebahkan diri, sambil meraih selimut. Ia merasa baru saja terlelap, ketika tangan kanannya digoyang pelan oleh adiknya.
Keadaan Manzila membuat seluruh anggota keluarganya cemas. Nurbaeti dan suaminya melihat keadaan Manzila sebentar, lalu keluar kamar saat Salamah datang bersama suami dan Anak-Anaknya. Saat Ayah masuk ke kamarnya, lelaki itu hanya mengusap kepalanya pelan, lalu meminta Mamak memasak bubur ayam untuknya.