“Kenapa, tidak ada yang bilang padaku, kalau kamu sakit, Zila?”
Bola mata coklat Aslan menatap Manzila. Jika saja ia tidak bertemu Salamah sewaktu akan ke kilang, ia pasti tidak mengetahui keadaan yang menimpa calon istrinya.
“Saya sudah sembuh, Lan. Tidak ada yang perlu dicemaskan.” Manzila bisa menangkap rasa khawatir di sinar mata lelaki itu.
“Kamu belum sembuh, wajahmu masih pucat dan suaramu juga pelan.”
Aslan ingin mengusap kedua pipi wanita itu, namun ia ragu untuk melakukannya. Mereka belum sah menjadi pasangan suami istri. Selain itu, ia merasa sikap Manzila masih menganggapnya orang asing, bukan calon suami.
Manzila meyakinkan Aslan kalau ia sudah sehat. Lelaki itu tidak pelru mencemaskan keadaannya, mereka memang akan menikah, namun ia tidak mau membuat lelaki itu merasa bertangung jawab pada dirinya.
“Walau kita belum menikah, aku harus tau bagaimana keadaanmu, Zila. Kalau kamu sakit, aku juga akan ikut merasa sakit.”
Ucapan melankolis Aslan menghadirkan senyum di hati Manzila. Ia tidak menyangka, lelaki yang memiliki suara bariton dengan wajah jantan itu memiliki hati yang lembut.
“Aku tidak akan sanggup, kalau kamu menderita.” Mata Aslan bersinar penuh kesungguhan.
Kalbu Manzila bergetar pelan, kalimat manis itu mengaduk-aduk perasaannya, hingga ia menjadi salah tingkah. Hatinya semakin berdebar, ketika lelaki itu bangkit, lalu duduk di sampingnya.
“Waktu dulu aku menyatakan cinta padamu, itu adalah pernyatana cinta yang sebenarnya, Zila.” Aslan meraih tangan kanan Manzila dan menggenggamnya hangat, “Mungkin, kamu tidak percaya kalau aku benar-benar mencintaimu. Tetapi, itu kenyataannya, aku memang jatuh cinta, sejak pertama kau berikan senyum manimu padaku.”
Kalimat Aslan menghadirkan kerut heran di dahi Manzila. Kapan ia memberikan senyum pada lelaki itu? Seingatnya, ia selalu memasang wajah masam, jika mereka bertemu.
“Kamu tentu masih ingat, kan?”
Namun, Manzila menggerakkan kepala ke kiri dan kanan.
“Kamu tak ingat?”
Kepala Manzila yang kembali menggeleng menyadarkan Aslan. Wanita itu tidak pernah merasa telah memberikan kesan pertama yang membuatnya tergila-gila. Ia pun mengajak Manzila untuk kembali ke masa lalu dengan menceritakan kejadian bertahun-tahun silam. Hanya saja, setiap kalimat yang diucapkannya, Manzila menanggapinya, tanpa ekspresi.
“Aku tidak ingat, Lan.” Mazila berkata lirih.
Sesaat, Aslan termanggu menatap Manzila.
“Kalau kamu tidak ingat, tidak apa-apa. Yang penting, kamu tahu kalau kamu sudah membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama” Mata Aslan bersinar jenaka, “Kalau kamu sudah sembuh, Ayah mau minta Pak Hasan datang lagi untuk membicarakan tentang hari pernikahan kita.”
Manzila tidak menyangka kalau ayah Aslan akan kembali mengutus seunangke. Ia belum siap untuk menghadapi utusan keuarga Aslan dan membahas tentang pernikahan.
“Maaf, Lan. Aku.....aku belum bisa memberikan keputusan tentang pernikahan kita.”
Aslan menatap Manzila lekat, “Kenapa? Tapi.....kamu sudah menerima lamaran itu.”
“Aku memang menerima lamaran keluargamu, aku mau menikah denganmu. Aku hanya perlu waktu, supaya kita bisa saling mengenal, sebelum kita menikah.”
Apa yang diucapkan Manzila menyadarkan Aslan, mereka belum saling mengenal secara dekat. Ia belum terlalu mengenal wanita itu, hanya getaran cinta masa lalu yang mengikatnya untuk memiliki wanita itu.
Langkah Nurbaeti yang membawa nampan berisi dua minuman hangat tertahan. Ia merasa sungkan mengganggu keakraban Kakak dan calon Abang iparnya. Tetapi, ia harus meletakkan bawaannya.
Suara batuk yang sengaja dikeluarkan Nurbaeti mengalihkan mata Aslan dari Manzila. Jarak antara dirinya dan Manzila sangat dekat, ia pun langsung menggeser punggung beberapa senti dari wanita itu.