“Anda tidak apa-apa?”
Benjiro tersentak, seorang lelaki tua menatapnya ramah. Ia langsung bangkit, uluran tangan lelaki itu disambutnya, seraya tersenyum.
“Saya Yusuf.” Lelaki itu memperkenalkan diri.
Benjiro juga menyebut namanya.
“Mari masuk. Anda bisa istirahat di dalam.”
Benjiro merasa segan, ia ingin menolak kebaikan lelaki itu, namun wajah bersih dan ramah mengurungkan niatnya. Saat ia melangkah di samping lelaki itu, dua orang pria muda keluar, lalu menyalami lelaki itu dengan hormat. Setelah berada di dalam ruangan yang bersih dan nyaman, tiga orang lelaki paruh baya menyapa. Yusuf membalasnya, kemudian mendekati mereka yang duduk saling berdampingan di tengah ruangan.
Benjiro memasang wajah ramah sewaktu Yusuf memperkenalkan dirinya pada mereka. Saat Yusuf dan ketiga lelaki itu mulai saling bicara, ia diam mendengarkan. Meski, ia mengerti bahasa Indonesia, tetapi ia tidak memahami apa yang mereka bahas. Perasaannya mulai tidak nyaman, karena tidak bisa mengikuti pembicaraan. Wajahnya yang mencerminkan suasana hatinya menarik perhatian Yususf, lelak itu mempersilahkannya untuk melihat-lihat keadaan di ruangan tersebut.
Sejak memasuki ruangan, Benjiro tertarik pada rak buku yang berada di sudut ruangan. Buku yang terusun rapi itu menjadi tujuannya. Salah judul menggugah hatinya, ia langsung meraih dan membawanya duduk bersandar pada tembok. Ia terlalu asyik menatap lembar demi lembar, hingga tidak menyadari Yusuf duduk di sampingnya.
“Kamu boleh membawa buku itu.”
Tatapan Benjiro menyapu di sekitarnya. Ia hanya berdua saja bersama Yusuf. Niatnya yang ingin melanjutkan membaca harus ditunda, lelaki itu akan pulang dan, ia tidak mungkin berada di dalam mesjid seorang diri. Sebelum mereka berpisah, ia menyampaikan keinginan untuk datang lagi.
“Kamu bisa datang kapan saja. Setiap hari saya ada di sini.” Yusuf menyambut dengan senyum.
“Terima kasih, Pak.”