Selama dua minggu belajar, serta meningkatkan pemahaman tentang islam, hari ini merupakan waktu bagi Benjiro untuk mengucap syahadat. Satu jam sebelum acara dimulai, ruangan mesjid sudah penuh oleh teman-teman satu negaranya, juga sahabat Indonesia. Mereka terlihat antusias mengikuti acara.
Benjiro duduk di hadapan Yusuf yang membimbingnya untuk mengucapkan kalimat demi kalimat. Ketika ia berhasil mengikuti setiap ucapan lelaki itu dengan sempurna, dadanya terasa lega, kesejukan pun menyelimuti hatinya. Seluruh teman-temannya mengucapkan syukur bersama-sama.
Beberapa wanita yang hadir telah menyiapkan makanan. Mereka menyusun aneka kue dan minuman di meja yang berada di sudut ruangan. Bersama seluruh rekan, ia menikmati hidangan yang sengaja dibuat untuk acaranya. Jalinan keakraban, serta hangatnya suasana menghadirkan kebahagiaan di hatinya.
Berada di antara sahabat-sahabatnya, ia merasa seperti berada di tengah keluarga sendiri. Hanya saja, secuil kesedihan yang terselip mengganggu perasaannya. Waktunya bersama mereka akan berakhir jam satu nanti, karena ia memiliki jadwal keberangkatan pesawat menuju Jakarta. Selama beberapa hari ini, ia memikirkan untuk datang menemui Manzila. Hatinya yang telah mantap memeluk islam, membuka pikirannya untuk meraih kembali cinta yang ditinggalkannya.
Rasa bersalah menyebabkan dirinya selalu dibayang-bayangi oleh sosok Manzila. Ia menelaah kembali saat di mana ia selalu melihat sosok wanita itu. Sewaktu melihat kekasihnya di taman Odori, hingga membawanya di dalam bus, ia teringat jika wanita berhijab yang disangkanya Manzila ada di dalam bus tersebut. Hanya saja, waktu itu ia tidak menyadarinya. Juga ketika ia mengejar sampai tiba di depan mesjid, wanita yang dilihatnya sebagai Manzila berada di seberang jalan. Semua wanita berhijab yang memiliki postur tubuh seperti kekaishnya, dalam penglihatannya mereka adalah Manzila.
Tepat jam sebelas, acara berakhir dengan satu demi satu teman Benjiro menyalaminya. Mereka semua mengiringi kepergiannya, hingga taksi membawanya meninggalkan Mesjid tanpa kubah yang menjadi saksi dirinya menjadi manusia tanpa dosa.
Taksi melaju cepat menuju stasiun Kereta Ekspress JR Airport. Ia akan naik kereta api tersebut menuju Bandara Internasional Chitose. Dalam perjalanan, Benjiro mengaktifkan ponsel. Pesan dari ibu hampir memenuhi kotak masuk, ia mengabaikan semua pesan tersebut. Ia belum siap untuk membacanya, apalagi membalasnya. Saat ini, pikirannya tengah fokus pada Manzila. Setibanya di Jakarta nanti, ia akan menemui Sonya dan meminta alamat Manzila. Menyesal sekali ia tidak pernah menyimpan nomor telepon sahabat kekasihnya itu.
Hampir jam dua belas tengah hari, kereta api tiba di stasiun bawah tanah bandara. Dengan ransel besar di punggung, Benjiro membawa kakinya turun dari kereta. Lalu, melangkah cepat di antara keramaian menuju jalan keluar.
Memasuki bangunan Bandara, ia langsung menuju loket. Hanya beberapa menit kemudian, ia sudah menerima konfirmasi tiket. Satu cawan kopi hangat menjadi temannya menanti pemberitahuan dari pihak maskapai. Setiap tegukkan dinikmatinya di salah satu bangku. Minumannya baru saja habis, ketika suara perempuan memenuhi ruangan dan menyampaikan tentang pesawat yang akan dinaikinya. Ia pun langsung bangkit, kemudian berjalan bersama beberapa penumpang yang memiliki tujuan sama.
Setelah transit di Tokyo, pesawat yang membawa Benjiro tiba di Jakarta kala tirai malam telah membungkus Ibu Kota. Setelah melalui pihak imigrasi, ia membawa kakinya keluar dari ruang pemeriksaan dokumen menuju taksi. Kemacetan panjang yang menghadang membuat perjalananya terasa lama dan, kelelahan mulai merambati tubuhnya.