Ketukan di pintu kamar menggerakkan tubuh Aslan untuk bangkit dan duduk di pembaringan. Wajah Ayahnya muncul, seraya mengajaknya makan malam.
“Lan belum lapar, Yah. Ayah makanlah dulu.”
Ayah Aslan melangkah masuk dan mendekati putranya.
“Tidak enaklah kalau Ayah makan sendiri.” Ayah Aslan duduk di samping putranya, “Kamu kenapa? Dari tadi Ayah tengok, wajahmu itu ditekuk kayak gitu?”
Aslan menatap Ayahnya dengan sayu.
“Tidak ada apa-apa, Yah.”
“Ah! Ayah enggak percaya, dari tadi kamu di kamar saja. Biasanya, kalau sudah sore kau elus-elus keretamu itu.”
Aslan pasti ada masalah. Baru malam ini, putranya itu tidak membersihkan dan mengelap motor kesayangannya. Tadi sore sewaktu pulang, wajah Anak tunggalnya terlihat kusut. Tanpa bicara padanya langsung masuk kamar dan tidak keluar sampai jatuh malam. Jam tujuh lewat dua puluh menit, ia menunggu untuk makan malam, namun yang ditunggu tidak kunjung keluar.
“Kalau ada masalah, ngomong sama Ayah. Biar Ayahmu ini bisa bantu.”
Perhatian Ayahnya yang mengalir melalui kalimat membuat Aslan terharu. Ayahnya pasti khawatir pada keadaannya yang tidak seperti biasanya. Akhirnya, ia pun menceritakan keluh kesah yang melanda hati.
“Kenapa Teuku Zaini tidak bilang kalau Anaknya itu sudah punya pacar?”
“Mungkin, Teuku enggak tau, Yah.”
“Jadi, gimana keputusanmu? Apa kau masih mau menikah sama perempuan yang sudah punya pacar?”
“Laki-laki itu cuma pacar, Yah. Bukan suaminya Zila, kenapa Lan mesti membatalkan pernikahan?”
“Kalau pacarnya sudah datang, apa masih mau Manzila menikah denganmu?”