Manzila mengerjapkan matanya berkali-kali, pandangannya tertuju pada langit-langit kamar, sementara pikirannya menerawang pada dua lelaki yang mencintainya. Sudah dua hari Benjiro tinggal di rumahnya, lelaki itu sepertinya betah berada di antara keluarganya. Hampir setiap waktu, tiga keponakan laki-lakinya mengajak Benjiro bermain. Lelaki itu pun menerima ajakan mereka dengan gembira.
Tadi sore, Benjiro bermain layangan di halaman belakang. Tubuh tegap lelaki itu dengan lihai menarik dan mengulur tali diiringi teriakan Jamal, Jalil dan Adnan. Teriakan dan gelak tawa keponakan menghadirkan senyum di bibir Nurbaeti dan Salamah. Kedua adiknya merasa senang ada yang mengajak anak mereka bermain. Mereka merasa bangga, buah hati mereka bermain dengan orang yang berasal dari luar negeri.
Semua keluarga Manzila ramah pada Benjiro. Hanya Manzila yang merasa terganggu oleh kedatangan lelaki itu. Ia bingung harus bersikap saat mereka berada di ruangan yang sama. Meski ada adik-adik beserta keponakan, ia menjadi salah tingkah, jika lelaki itu mengajaknya bicara. Dadanya sedikit berdesir, desiran itu hampir sama seperti saat pertama kali lelaki itu menyatakan perasaan. Hanya saja, kali ini ia harus membuangnya agar hatinya tidka kembali terpaut pada lelaki itu.
Demi menjaga perasaannya tidak terbagi di antara Aslan dan Benjiro, ia menghindari Benjiro jika dalam waktu bersamaan mereka hanya berdua. Setiap mereka saling berpapasan, ia menundukkan wajah. Jika terpaksa harus bersikap ramah saat lelaki itu menyapa, ia membalasnya dengan hanya menatap sekilas wajah lelaki itu dan segera berlalu.
Ia sengaja memupuk rasa bencinya pada Benjiro. Usahanya semakin mudah, ketika selalu mengingat sewaktu lelaki itu meninggalkannya. Jika benar mantan kekasihnya pulang ke Jepang, karena ragu untuk menikahinya, mengapa lelaki itu tidak berterus terang padanya? Mereka bisa saling memberi dukungan agar sama-sama kuat dalam mengambil keputusan.
Ah, ia benci Benjiro. Gara-gara keraguan lelaki itu, ia menerima Aslan sebagai calon suaminya. Karena hati lelaki itu tidak teguh pada cinta mereka, ia harus membagi hatinya pada lelaki yang tidak dicintainya.
Walau sukar untuk sepenuhnya membenci Benjiro, ia akan tetap memastikan cintanya pada lelaki itu tidak akan bersemayam lagi di hatinya. Tidak mencintai Aslan bukan berarti pria itu tidak bisa menjadi pendamping hidupnya. Ia mulai menyayangi Aslan dan rasa sayang itu sudah cukup sebagai alasan baginya untuk menjadikan pria itu sebagai imamnya.
Bunyi alaram yang berasal dari ponsel pintar menyentaknya. Manzila menguap, sembari tangan kanannya menutup mulut. Matanya terarah pada jam dinding yang menunjukkan pukul lima lewat tujuh menit. Tanpa disadari, ia tidak tidur sepanjang malam karena memikirkan Benjiro dan Aslan. Kini, kantuk mulai memberati matanya, tetapi sebelum tidur, ia harus menunaikan kewajiban terlebih dahulu.
Dengan berdiri tegak, lalu menggerak-gerakkan tubuh, Manzila berharap rasa mengantuknya bisa hilang. Setelah berkali-kali menarik napas dan membuangnya pelan, ia merasa sedikit segar. Segera dilangkahkannya kaki menuju pintu kamar.
Melintasi kamar di mana Benjiro berada, kaki Manzila perlahan berhenti. Niatnya untuk mengambil air wudhu tertahan oleh sebuah suara yang berasal dari dalam. Ingin mendengar lebih jelas, ia pun mendekatkan telinga pada pintu. Matanya sedikit membulat mendengar suara Benjiro yang mengucapkan asma Allah.
Manzila terpaku, lantunan ayat suci itu membelai kalbunya. Ia selalu bermimpi Benjiro memeluk agama yang sama dengannya dan saat ini, keinginannya telah terwujud.
“Hhhhh, andai saja...... Ah, aku enggak boleh berpikiran kayak gini.”
Batin Manzila membentak dirirnya. Ia sempat berandai-andai, jika ia kembali bersama Benjiro. Mereka memang sudah seiman, namun bukan berarti ia harus kembali pada lelaki itu. Akhirnya, ia menguatkan hati, kemudian berjalan cepat menuju kamar mandi.
Setelah mengambil air wudhu, Manzila berjalan pelan di depan kamar Benjiro. Ia tidak mendengar suara lelaki itu lagi. Saat terdengar suara kunci pintu, cepat-cepat ia berlalu menuju kamarnya. Sebaik saja pintu ditutup, ia mendengar langkah kaki.
Berdiri di belakang pintu, Manzila memegang dadanya yang berdebar. Meski, ia meyakinkan diri kalau telah membenci Benjiro. Namun, sosok lelaki itu selalu mampu menggetarkan hatinya. Sambil memejamkan mata, ia mengusir bayangan lelaki itu. Ia tidak ingin sholatnya menjadi tidak khusuk gara-gara membayangkan lelaki itu.
Setelah mengakhiri shalat dengan doa, Manzila merasa hatinya tenang. Ia bangkit, lalu merapikan peralatan ibadah dan meletakkan pada tempatnya. Rasa mengantuk yang sempat hilang kembali menyerang. Pembaringan yang dilapisi seprei polos warna hijau toska menjadi tujuannya. Tanpa mampu menahan diri, ia pun menghempaskan tubuh dan sesaat kemudian, alam mimpi menerima dirinya.
**********
“Kenapa kau selalu menghindar?” Benjiro berdiri di belakang Manzila.
Tubuh Manzila yang sedang mencabut rumput liar tegak. Ia masih membisu saat Benjiro jongkok di sampingnya.
“Kenapa, Ila?”