Mamak Manzila duduk dengan gelisah, sudah sepuluh menit ia menunggu putrinya mengganti pakaian.
“Ila! Cepatlah, sudah siang ini, nanti panas!” Nada tidak sabaran Mamak Manzila memenuhi rumah.
Manzila yang tengah mencari jarum untuk menguatkan jalinan hijabnya jadi kalang kabut. Tidak juga menemukan apa yang dicarinya, akhirnya ia menukar pasmina dengan jilbab isntan. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, lalu kembali merapikan penutup kepala, kemudian melangkah menuju pintu.
“Sabar, Mak......” Manzila menghampiri Mamaknya yang langsung berdiri.
Lengan kanan Manzila ditarik dan mereka berjalan bersama keluar rumah. Setelah menuruni tangga, Mamak melepaskan pegangannya dan mencari sendal yang selalu di letakkan di samping anak tangga.
“Ke mana, ya?” Mamak Manzila mencari salah satu sendalnya.
“Pakai yang lain saja, Mak.” Manzila menyarankan. Tetapi, Mamak tetap mencari sendal yang selalu dipakai jika bepergian.
Tidak sabar melihat Mamaknya masih mencari, Manzila melangkah mendekati pintu pagar. Matanya menatap barisan pohon sawit di halaman rumah tetangganya. Rumah permanen dengan ukuran cukup besar itu berseberangan jalan dengan rumah orang tuanya. Hampir semua penduduk memiliki kebun sawit, hanya sebagian kecil saja yang memilih menanam padi. Sedangkan sayuran, warga menanamnya untuk kebutuhan dapur sendiri.
Suara sirene mengalihkan perhatian Manzila, matanya menangkap kehadiran mobil ambulan yang akan melintas di depannya. Saat mobil berwarna putih itu lewat, Mamak telah berdiri di sampingnya.
“Siapa yang dibawa, ya?” Mata Mamak bertanya pada Manzila.
Belum sempat Manzila bersuara, iringan sepeda motor terlihat di kejauhan dan melaju cepat bersama debu yang berterbangan. Sebelum iringan tersebut lewat di depan mereka, Manzila dan Mamaknya mundur beberapa langkah menghindari debu.
Saat iringan motor melewati Manzila dan Mamaknya. Salah satu dari motor berhenti tepat di depan mereka, lelaki yang berada di boncengan turun.
“Kalian semua mau ke mana?” Mamak Manzila bertanya pada lelaki yang membawa motor.
“Kami dari Rumah Sakit, Bu. Haji Tarmizi sama Aslan ditabrak truk.”
Kabar dari bibir lelaki muda itu menyentak dada Manzila. Dadanya semakin bertambah kencang, ketika lelaki itu melanjutkan tentang ambulan yang membawa jenazah Ayah Aslan.
“Innalillahi, wainailaihi rojiun.” Mamak Manzila memegang dada.
Dalam hati, Manzila juga mengucapkan kalimat yang sama seperti mamaknya.
“Gimana keadaan Aslan, Bang?” Tanya Manzila.
“Dia belum sadar, masih di rumah sakit. Saya mau lanjut ke rumah Haji Tarmizi, permisi, ya, Bu?”
Mamak Manzila mencegah, ia meminta agar lelaki itu mengantar Manzila ke rumah sakit.
“Kamu ambil kereta itu. Tolong antarkan saya ke rumah duka.” Mamak Manzila menatap lelaki yang satunya. “Kau pergilah, Ila. Hati-hati di jalan, ya?”
Manzila mengangguk, kemudian melangkah mendekati motor, kemudian naik dan duduk di belakang lelaki muda itu. Sesaat setelah lelaki yang membawa motor menyalakan mesin, Mamak Manzila kembali mengingatkan agar berhati-hati. Matanya berkaca-kaca menatap kepergian putrinya. Ia menahan diri untuk tidak menangis dan langsung naik di boncengan saat motor yang akan membawanya ke rumah duka berhenti di depannya.
Sepanjang perjalanan, Manzila berusaha menenagkan diri agar debaran cemas di dadanya berhenti. Doa juga dipanjatkannya untuk Aslan dan Ayah lelaki itu. Sedikit pun ia tidak mendapat tanda, jika akan terjadi musibah pada calon suami dan ayah mertuanya. Setelah tadi malam ia dan Mamak membahas tentang pakaian. Pagi ini, mereka akan membeli kain yang akan dijahit untuk baju akad nikah.
Selama hampir satu jam berada di jalan lintas Kabupaten, motor yang membawa Manzila tiba di rumah sakit daerah. Menelusuri jalan menuju kamar perawatan Aslan, debaran dadanya semakin kuat. Memasuki salah satu ruangan, kedatangannya disambut wajah sembab Pak Wo Aslan dan istri. Uluran tangannya dibalas lemah oleh mereka.
Pak Wo Aslan berdiri dan mempersilahkannya menggantikan posisi lelaki itu. Duduk di samping pembaringan, ia tidak mampu menahan air mata kala menatap keadaan Aslan. Tangisnya tumpah, sembari menahan isak. Selimut putih yang menutup dari pinggang sampai kaki membungkus tubuh Aslan. Kepala lelaki yang akan menjadi sumainya dibalut perban dan infus melekat di punggung tangan kanan. Kulit yang mengelupas membuat luka lebar di pergelangan tangan kanan, hingga ke siku. Lecet dan memar membekas di pungung tangan kiri, siku dan bahu.
Manzila menghela napas membuang kesedihan yang menyesak dada. Matanya menatap ruangan serba putih di sekitarnya. Aslan dirawat di kamar yang khusus untuk lelaki itu seorang. Hanya Pak Wo Aslan dan istri yang menjaga lelaki itu. Anggota keluarga yang lain pasti sedang sibuk mempersiapkan pemakaman Ayah Aslan.
Hingga menjelang siang, Manzila tidak beranjak dari sisi pembaringan. Meski merasa sedikit mengantuk, ia menahan diri untuk tetap terjaga. Ia akan berada di samping Aslan sampai lelaki itu membuka mata. Saat Mak Wo Aslan memberikannya sbeungkus nasi, ia meletakkan pemberian itu di atas meja yang berada di samping pembaringan. Perutnya sudah minta diisi, namun ia tidak berselera untuk makan.
“Sudah jam tiga, kamu makanlah dulu. Nanti kamu sakit.” Pak Wo Aslan berdiri di smaping Manzila.
“Iya, Ila. Makanlah.” Tatapan meminta Pak Wo Aslan dan istri mengurungkan niat Manzila yang ingin menolak. Tubuhnya bangkit dan berjalan menuju ambal yang tergelar tidak jauh dari pembaringan. Setelah bersila, ia meletakkan nasi bungkus dan botol air mineral di depannya.
Manzila hanya mampu memaksa tiga suap nasi melewati tenggorokannya. Setelah meneguk setengah botol minuman, ia membuang sisa nasi di dalam tempat sampah yang berada di pintu masuk ruangan.
Malam yang telah jatuh tidak disadari Manzila. Ia mengetahuinya, ketika Pak Wo Aslan mendekatinya.