Manzila meminta Nurbaeti agar mempercepat laju motor. Semburat jingga sang mentari senja sebentar lagi akan datang, mereka harus tiba di rumah Pak Wo Aslan, sebelum malam jatuh. Seharusnya mereka sudah sampai sejak tadi, tetapi karena ban motor adiknya bocor, mereka terpaksa berhenti di bengkel.
Hampir setengah jam melaju melintasi jalan beraspal, Nurbaeti mengarahkan motor memasuki jalan kecil berbatu. Selama lima menit terguncang-guncang, akhirnya mereka sampai di rumah Pak Wo Aslan. Rumah kayu dengan disian sederhana yang lumayan besar itu terlihat sepi. Halaman luas yang ditumbuhi rimbunnya tanaman tebu menambah suasana bertambah lengang.
Suara motor yang berhenti di depan rumah menarik seorang gadis muda keluar. Gadis itu mengenal Nurbaeti, lalu mendekat dan menyalaminya.
“Ini Kak Ila.” Nurbaeti memperkenalkan Manzila.
“Saya Fika, Kak.” Gadis itu tersenyum manis, seraya menyambut tangan Manzila.
Dengan ramah, gadis itu mempersilahkan mereka untuk masuk dan duduk di kursi rotan yang berada di ruang tamu.
“Saya panggil Bang Lan dulu, ya, Kak?” Fika berkata pada Nurbaeti, lalu matanya beralih pada Manzila.
Serentak, Nurbatei dan Manzila mengangguk.
“Ngapain dia di sini?” Suara Nurbaeti lirih.
“Siapa, Bet?”
“Fika itulah. Ngapain dia di sini?”
Manzila menyangka gadis yang bernama Fika itu saudara Aslan. Ternyata, dugaannya salah, adiknya berkata kalau gadis itu tidak ada hubugan kerabat dengan calon suaminya. Kehadiran seorang gadis muda dan cantik di rumah Pak Wo Aslan tentu saja menimbulkan tanda tanya pada diri adiknya, demikian juga dengan dirinya.
Ia ingin tau lebih banyak lagi tentang Fika, namun suaranya terpaksa ditelan, ketika seorang gadis tanggung berjilbab merah datang mendekat. Gadis hitam manis itu meletakkan nampan yang berisi dua gelas kopi di depan mereka.
“Silahkan, Kak.”
Manzila dan Nurbaeti tersenyum, seraya mengucapkan terima kasih. Sesaat setelah gadis itu pamit dan melangkah menuju ruangan lain, Fika muncul dari pintu ruangan yang sama.
“Bang Lan sudah tidur, Kak. Besok saja datang lagi.”
Ucapan Fika menghadirkan kerutan heran di dahi Nurbaeti. Sesaat sebelum masuk ke dalam rumah tadi, sekilas ia melihat Aslan sedang memandang mereka dari jendela. Ia ingin mengatakan hal tersebut, hanya saja perasaannya mencegah, ia merasa ada sesuatu yag membuat Fika meyampaikan kebohongan tentang Aslan.
Manzila memberi isyarat pada adiknya untuk pulang. Nurbaeti meminta Fika menyampaikan tentang kedatangan mereka pada Aslan, ia juga menitip pesan kalau mereka akan datang kembali esok sore.
Dalam perjalanan, Nurbaeti menceritakan tentang Fika pada Kakaknya. Dengan berat hati, ia mengatakan tentang kebohongan yang disampaikan gadis itu. Ia juga bilang kalau gadis itu memiliki perasaan khusus pada Aslan.
“Makanya, Beti heran, ngapain dia ada di rumah itu?” Nurbaeti melambatkan laju kendaraannya. Ia ingin mendengar tanggapan Kakaknya.
“Aslan enggak mau bertemu sama kita, Bet.” Manzila mendesah.