Cinta Hanya Dia

Aza Muliana
Chapter #22

Perpisahan

Keluarga Manzila sudah siap menyambut kedatangan Pak Wo Aslan dan seunagke. Namun, mereka belum siap saat mendengar permintaan maaf mereka tentang pembatalan pernikahan Aslan dan Manzila.

“Aslan merasa sangat terpukul atas kepergian ayahnya. Kakinya yang lumpuh menghilangkan semangat hidupnya.”

“Kenapa harus dibatalkan? Kami mau menunggu sampai Aslan sembuh total.” Ayah Manzila tidak menerima keputusan tersebut.

“Saya sudah membujuk supaya pernikahannya ditunda saja. Tapi, dia tidak mau. Dia tidak yakin kalau bisa sembuh.” 

Ayah Manzila menghela napas berat. Sebagai kepala desa, ia harus bersikap bijaksana dalam menghadapi keputusan sepihak keluarga Aslan. Tapi, ia tidak bisa menguasai diri saat keputusan tersebut berhubungan dengan masa depan putrinya. Semua perasaan kecewa yang diliputi kemarah berusaha diatasinya. Ia menarik napas panjang, lalu mengurai senyum lemah. Hatinya terasa berat, ketika berkata kalau ia sekeluarga menerima permintaan maaf mereka.

Raut mendung menghiasi wajah Ayah Manzila, ketika melepas kepergian Pak Wo Aslan dan seunangke.

“Kau bilanglah sama Mamakmu, apa yang dikatakan sama tamu kita tadi.” Ayah Manzila menatap suami Nurbaeti, lalu menepuk pelan bahu suami Salamah, sebelum melangkah lemah menuju kamarnya.

Langkah suami Nurbaeti yang menuju ruang tengah, disambut tatapan Mamak Manzila yang sedang bersila di atas ambal berdampingan dengan ketiga putrinya. Lelaki itu melabuhkan punggung dan bersila di depannya. Kata-kata menantunya perlahan mengubah wajah tenangnya menjadi kaku. Ia tidak menyukai keputusan keluarga Aslan, ia tidak terima pernikahan putrinya dibatalkan. Sesaat, ia menarik napas panjang dan memikirkan tentang nasib pernikahan putrinya.

Manzila tidak bersuara, ia seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Hatinya terasa perih, lelaki yang mulai menumbuhkan rasa sayang di hatinya ternyata seorang pengecut. Ia bisa memahami kondisi Aslan yang menderita lumpuh. Tapi, kenapa lelaki itu tidak bicara padanya, ia tentu menerima jika pernikahan mereka harus ditunda, bukan dibatalkan. 

“Ila harus bertemu Aslan, Mak.” 

Mamak Manzila menatap putrinya.

“Iya, Nak. Kamu harus bertemu dia. Tapi, besok saja, ya? Enggak baik datang ke rumah laki-laki malam-malam begini.” Mamak Manzila membujuk, ia melihat duka di mata putrinya.

Manzila menurut. Memang sebaiknya ia pergi esok pagi saja. Jika ia memaksakan diri malam ini, ia pasti menciptakan pertengkaran hebat dengan Aslan dan kata-kata kasar akan berhamburan dari bibirnya. Rasa kecewa telah menimbulkan bara panas di hatinya, hingga dadanya terasa mau meledak. Sikap lelaki itu ternyata sama saja seperti Benjiro. Mereka pergi meninggalkan dirinya sendiri dalam luka. 

**********

Hari masih sangat pagi saat Nurbaeti membawa Kakaknya menuju rumah Pak Wo Aslan. Sesampainya di sana, Aslan yang sedang berada di halaman depan menyambut kehadiran mereka dengan raut terkejut. Lelaki yang duduk di kursi roda itu mempersilahkan mereka masuk. Ia memutar kursi dan mengerakkan rodanya mengikuti kedua tamunya yang melangkah menuju ruang tamu.

Lihat selengkapnya