Mamak Manzila menghampiri suaminya yang tengah duduk melamun di teras. Kemurungan selalu menyelimuti wajah lelaki itu, sejak putri mereka memutuskan untuk kembali ke Ibu Kota. Gagalnya pernikahan Manzila membuat suaminya merasa terpukul. Ia juga merasakan hal yang sama. Ibu mana yang tidak sedih, ketika putrinya menghadapi kegagalan untuk kedua kalinya?
“Abang sedang mikirin apa?” Mamak Manzila duduk di samping suaminya.
Ayah Manzila menatap istrinya dan menghela napas pelan.
“Semua ini salah Abang, kan, Iroh?”
“Kenapa Abang ngomong kayak gitu?”
“Abang selalu memaksakan kehendak pada Ila, sampai Anak kita itu mengalami dua kali kegagalan. Kasihan Abang tengkok dia itu. Kalau Abang tidak paksa dia menikah dengan Aslan. Dia pasti sudah kembali ke Jakarta dan di sana dia bisa bertemu sama laki-laki yang akan menikahinya.” Suara lirih Ayah Manzila penuh penyesalan, “Abang pikir, kalau dia menikah sama Aslan. Dia bisa tinggal di sini, dekat sama kita.”
Mamak Manzila menatap suaminya dan tersenyum tipis. Ia tau, suaminya itu menyayangi putri mereka. Suaminya yang keras kepala itu selalu menutupi perasaan penuh kasihnya pada keluarga. Jangankan pada anak-anak, pada dirinya saja lelaki itu tidak pernah menunjukkan rasa sayang.
“Sudahlah, Bang. Jangan menyalahkan diri sendiri. Kita enggak tau kalau semua ini akan terjadi. Sudah kehendak Allah, kita terima dengan sabar dan ikhlas.”
Ayah Manzila terdiam demi mendengar ucapan istrinya. Setelah kecewa yang ditorehkan kedua putranya, ia baru menyadari jika hanya ketiga putrinya saja yang bisa menjadi sandaran di hari tuanya kelak. Ia mulai menyadari kesalahan yang pernah dilakukannya pada ketiga anak perempuannya. Maisaroh, istrinya sering mengingatkan tentang sikapnya yang salah, namun ia sering tidak mendengarkan. Dan, kegagalan putri kesayangannya telah membuka matanya. Sekarang, ia tidak akan lagi mencampuri kehidupan putrinya itu.
Detak sepatu boot hitam Manzila mengalihkan perhatian kedua orang tuanya, ia terlihat cantik dengan pashmina kotak-kotak berwarna biru laut bergaris putih. Penampilannya terlihat menawan dengan baju terusan sebatas lutut berwarna biru dibalut jaket jeans hitam lengan panjang. Celana panjang hitam berbahan kulot terlihat serasi membalut kakinya yang jenjang.
Bersimpuh pada lantai, Manzila mencium punggung tangan kanan Ayahnya.
“Hati-hati kau di sana, Ila.” Mata Ayah Manzila berkaca-kaca.
Ketika Manzila mengambil tangan kanan Mamaknya, wanita itu mendekap erat putrinya dengan limpahan air mata.
“Jangan lupa pulang, ya, Nak?”