Cinta Hanya Dia

Aza Muliana
Chapter #24

Selamanya Dia

Nada dering ponsel yang memenuhi kamar menyentak Manzila. Tanganya mencari-cari HP yang berada di sampingnya. Dengan mata yang masih berat untuk dibuka, ia mendengarkan suara Pak Siswo. Lelaki itu memintanya hadir di kantor tepat waktu dan langsung menuju ruangannya, karena ada berkas yang telah menunggu.

Ia masih mengantuk, sepertinya ia baru saja terlelap. Tadi malam, setelah membongkar dan menyusun pakaiannya, ia merebahkan tubuh dengan pikiran yang mengembara pada kedua orang tuanya. Kenangan saat bersama Benjiro menari-nari di pelupuk mata. Keadaan Aslan menjadi pikirannya. Semua itu membuatnya susah untuk tidur, ia tidak tau jam berapa, ketika matanya mulai berat dan akhirnya ia bisa terlena.

Manzila bergerak bangkit, lalu bersila dan meletakkan kedua tangan di paha. Dengan mata terpejam, ia menarik napas pajang, kemudian mengeluarkannya pelan. Selepas delapan kali melakukan hal yang sama, ia membuka mata dan merasa tidak mengantuk lagi.

Tidak memerlukan waktu lama bagi Manzila untuk mandi, kemudian mengambil air wudhu. Selesai mengerjakan salah satu rukun wajib, ia memilih baju yang pantas dikenakan pada hari pertama kerja. Ia harus memakai pakaian yang rapi, serta enak dipandang. 

Cermin memantulkan seluruh tubuh Manzila. Penampilan modisnya telah digantikan oleh baju semi gamis. Meski pakaian yang dikenakannya sangat lembut, namun ia merasa sedikit tidak nyaman. Salah satu usahanya agar lepas dari ikatan masa lalu, ia harus mengubah gaya berpakaian yang menjadi ciri khasnya. Penutup kaki yang selalu menemani juga akan digantinya. Ia menatap deretan sepatu boot berhak rendah yang duduk manis di rak sepatu. Lalu, mengambil sepasang high heels berwarna coklat. 

Setelah mengunci pintu, kakinya melangkah menuju lift yang akan membawanya ke basement. Ia berharap, mobil yang dititip sementara pada security yang menolong membawakan barang-barangnya kemarin terjaga dengan baik.

Mobil kesayangannya berada di antara mobil mewah penghuni apartemen. Menatap kendaraannya, ingatannya melintas sekilas pada Benjiro. Selama mereka bersama, lelaki itu yang selalu menjadi supir pribadinya, sehingga ia sangat jarang mengendarai benda bergerak buatan Jepang itu.

Manzila membawa mobilnya berjalan mulus keluar dari komplek aparteman. Berada dalam perjalanan menuju kantor, ia merasa hatinya gersang dan hampa. Ketika masih merenda hari penuh cinta, ia selalu menyambut pagi dan melakukan aktifitas dengan hati penuh bahagia.

Tiba di gedung perkantoran, Manzila memarkirkan mobilnya di samping gedung yang menjadi tempat parkir khusus mobil. Saat kedua kaki jenjangnya menapak tanah, matanya menatap lepas keadaan di sekitar, sambil menutup pintu. Ia berjalan melewati barisan mobil menuju bagian depan gedung. Sebaik saja ia berada di depan pintu masuk, kedua pintu kaca itu secara otomatis terbuka.

“Selamat pagi, Pak.” Manzila menyapa lelaki tua berseragam putih biru.

Biasanya, petugas keamanan itu akan tersenyum ramah dan mereka berbicara sekedarnya. Namun, kali ini lelaki itu berdiri tegak dengan sikap hormat, sembari menundukkan kepala dan membalas sapanya. Lelaki itu pasti tidak kenal dengan penampilannya. Saat ini, ia tidak memiliki keinginan untuk bebicara pada siapa pun. Langkahnya bergegas meninggalkan lelaki yang masih bersikap hormat dengan melepaskan tatapan pada lantai.

Beberapa petugas keamanan juga tidak mengenalnya, ia tidak akan mengatakan siapa dirinya pada mereka, lambat laun mereka pasti mengenalnya. Bukan hanya security, receptionis yang duduk di pintu masuk kantor utamanya, juga para office boy dan cleaning service juga tidak mengenal dirinya.

Sebagian karyawan yang sudah berada pada meja masing-masing sedang sibuk melakukan kerja. Beberapa dari mereka menoleh sekilas padanya, lalu kembali melanjutkan pekerjaan. Mereka pasti mengira sedang melihat orang asing. Sebelum masuk ke dalam ruang kerjanya, ia berhenti dan berdiri tegak di depan wanita muda berhijab biru yang menjadi sekretaris pribadinya.

“Pak Siswo sudah datang?”

Pertanyaan Manzila membuat sekretarisnya mendongak. Wanita itu menatap asing padanya. Sesaat terpaku dan memperhatikan wajahnya baik-baik, suara teriakan tertahan memenuhi ruangan. 

“Ibu! Ah, rupanya Ibu. Saya pikir tamu atau klien yang mau bertemu Kepala Pimpinan.” Mata wanita itu bersinar gembira.

Senyum Manzila menyambut ucapan wanita itu, seraya membalas uluran tangan dan ucapan selamat datang. Ia kembali bertanya tentang pimpinan divisi. Wanita itu mengangguk dan mengatakan, jika kepala pimpinan tengah berada di ruangannya. 

“Oh, baiklah. Saya masuk dulu, ya?”

“Iya, Bu. Iya......” Wanita itu mengangguk berkali-kali.

Tangan Manzila tertahan di pegangan pintu, ketika sebuah suara memanggil namanya.

Lihat selengkapnya