Catatan Editor: Membaca, Memikirkan Indonesia
Ketika disodori tema dan sebagian kecil dari naskah ini, saya memulai dengan sebuah pertanyaan. Bagaimana anak-anak bangsa, yang tidak pernah didengar pendapatnya oleh negara seperti halnya para tokoh-tokoh negara berbicara, mengembangkan gagasan dan ide-ide untuk bangsa dan negaranya? Membuka dan membaca lembar demi lembar naskah, kemudian saya menemukan keasyikan yang sungguh. Tugas saya kemudian adalah menemukan ide lain yang masih bersembunyi di laman-laman Kompasiana, lalu mengikatnya menjadi satu kesatuan yang utuh.
Tanpa berprentesi mengabaikan banyak tulisan yang lain, naskah-naskah yang terpilih ini kemudian dikelompokkan dalam bidang-bidang yang memadai. Harapannya adalah memberikan sumbangan gagasan dan ide-ide kepada bangsa, untuk menghidupi Indonesia dengan sepenuh hati. Naskah-naskah opini, pemikiran, dan laporan pandang mata yang pernah nangkring di kompasiana.com ini memiliki banyak gagasan tentang bangsa dari berbagai sisi. Inilah ide-ide kebangsaan dari anak-anak zaman. Sebaran usia, daerah asal, dan latar belakang pemikiran yang beraneka ragam para penulis berpadu dalam satu buku yang akan Anda baca ini.
Tentu menarik untuk melihat anak-anak dalam tiap lintasan zaman, warga bangsa ini berpikir tentang ke-Indonesia-annya, kebangsaannya. Gagasan-gagasan yang tersebar dan berserakan di dalamnya menarik untuk dikemas menjadi gagasan yang sistematis agar menjadi bagian dari melanjutkan Indonesia.
Gagasan-gagasan dan pemikiran yang subur memberikan banyak harapan pada Indonesia bahwa anak-anak bangsanya mempunyai kepedulian untuk memikirkan, menggagas, dan meneruskan proses ke-Indonesia-an. Hal ini penting mengingat masa depan pemikiran Indonesia tidak hanya di tangan tokoh-tokoh bangsa atau pemikir-pemikir yang sudah lebih dahulu ada, yang karya-karyanya sudah sering kita baca dari berbagai publikasi di Indonesia maupun di mancanegara.
Tugas memikirkan dan membincang Indonesia tentu tidak mungkin kita letakkan hanya kepada mereka. Namun, sudah semestinya setiap nyawa yang tumbuh di tanah dan air negeri ini memikirkan cara Indonesia berkembang dan tumbuh. Ada tugas besar dalam kepala tiap-tiap manusia Indonesia untuk menyuburkan pemikiran dan gagasan ke-Indonesia-an menuju Indonesia yang mampu berdiri dan berpikir tegak di negerinya sendiri. Itulah cita-cita ke-Indonesia-an.
Menyelami pikiran-pikiran kebangsaan dari para kompasianer ini sungguh memberikan ruang teduh di antara karut-marut persoalan bangsa yang menumpuk. Juga hiruk pikuk masyarakat yang tengah gandrung dengan budaya luar yang memang masif menyerbu ranah-ranah kehidupan warga bangsa. Beberapa penulis di dalam naskah ini pun menggambarkan betapa sungguh centang-perenang kehidupan kebangsaan kita.
Kesaksian tentang bara api peristiwa kekinian ini terpancang nyata di dalam tulisan buku ini. Para penulis menerakan dengan sungguh peristiwa-peristiwa kelangkaan minyak untuk para nelayan kecil, pendidikan yang kalang kabut, desa yang hanya menjadi kelinci percobaan janji-janji pemerintah, belitan korupsi yang seolah kita tak bisa udar darinya, hingga sistem ekonomi yang tak berpihak kepada masyarakat kecil. Sebuah cerita tentang betapa murung Indonesia.
Jika demikian, bisakah cita-cita kita pasang di antara bangunan-bangunan yang rapuh seperti ini? Tepat di sini rasanya benar yang dituliskan Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1973):
“Realitas sebenarnya menjadi antiklimaks. Bukan karena tak ada apa pun (dari cita-cita kemerdekaan) yang telah terjadi, bukan juga karena era baru belum dimasuki. Namun, justru karena sebuah zaman baru telah dimulai, sekarang kita tidak bisa lagi menghindar dari jerih payah melakukan apa yang dijanjikan kemerdekaan dan bukan sekadar membayangkan. Semua itu adalah pengalaman yang menciutkan hati.”