Indonesia tidak bisa dikatakan Indonesia jika hanya dilihat dan dinilai dengan cara yang sepenggal-sepenggal. Karena, Indonesia adalah sebuah kesatuan jiwa, raga, moril, dan spiritualisme penghuninya dari Sabang sampai Merauke yang terbungkus rapi dalam bingkai yang utuh: ke-Indonesia-an.
Jika diibaratkan, Indonesia adalah tubuh manusia yang utuh, saling mengisi untuk bergerak dan menggerakkan dirinya pada lintasan interaksi berbagai macam bentuk dan perbedaan anggota tubuh sesuai dengan fungsi, tugas, dan kewajibannya masing-masing (fungsi aktivasi). Pun, menilai Indonesia tidak serta-merta juga langsung kita samakan ketika menilai tubuh secara in and out. Ada persoalan makro dan mikro serta naturalisme dan hyper naturalism yang menyertainya.
Lalu, bagaimanakah menilai Indonesia dalam konteks kekinian? Setarakah jika menilai melalui apa yang kita lihat, dengar, dan baca? Sesederhana itukah?
Sejatinya, Indonesia dalam ke-Indonesia-annya tidak bisa diapa-apakan. Mau di-uthak-athik pakai ilmu gathuk yang supercanggih sekalipun tetaplah Indonesia. Karena, sesungguhnya Indonesia itu telah ada jauh-jauh hari sebelum Indonesia yang sekarang dikatakan sebagai Republik Indonesia.
Meskipun demikian, berbagai persoalan kebangsaan yang melintas dengan cepat, baik yang tercatat maupun yang tidak tercatat, menjadi sebuah isyarat bagi “Indonesia” bahwa adanya Indonesia telah sesuai dengan zaman. Ketika Indonesia menggeliat, berdaya, melompat, merayap, bahkan Indonesia berjungkir balik dalam konteks kedirian Indonesia-nya, ya, itulah Indonesia. Indonesia punya ciri khas dengan kemandiriannya.
Akan tetapi, jika Indonesia diam, apa bedanya dengan raga tanpa jiwa? Pertanyaannya, apakah selama ini Indonesia diam atau sedang menggeliat? Bisakah juga dikatakan bahwa Indonesia kini telah menjadi Indonesia yang benar-benar mandiri?