Pukul empat sore, Riky mendarat di rumah sakit Siloam. Rupanya, Fandi sudah menunggu di lobi rumah sakit tersebut.
“Kalau ditanya, bilang Masnya itu penulis yang lagi research tentang sejarah Indonesia, ya,” kata Fandi sambil memimpin langkah.
Jadi, laki-laki itu belum menjelaskan sama-sekali tentang kisah Oma Melati yang mencari-cari keberadaan Kakek Bambang? Riky merasa dipermainkan. “Lah? Lo nggak bilang kalau nenek gue itu adalah teman lamanya, Melati Sukma Rahardjo,” katanya dengan suara meninggi.
“Saya bingung soalnya. Mas tahu, kan, kita ada di mana sekarang?”
Rumah sakit. Dari tadi malam, pikiran bahwa Kakek Bambang terbaring lemah karena sakit parah sudah berseliweran di otaknya. Kalau begitu, pantas saja sebelumnya Fandi tidak mau berurusan dengannya.
Sekonyong-konyong, satu sosok yang sudah sepuh berjalan perlahan-lahan ke arah Riky dan Fandi. Rambutnya telah seluruhnya memutih. Semakin mendekati mereka, semakin Riky menyadari bintik-bintik memenuhi wajah kakek tersebut.
Ketika Fandi memeluk sosok itu, Riky kembali kebingungan. Apakah laki-laki lansia itu adalah Kakek Bambang Sucipto? Jika benar, itu tandanya kakek Fandi itu sehat dan cukup bugar. Tapi, mengapa ada di rumah sakit? Belum lagi pertanyaan utama: Apakah kakek itu orang yang sama yang menjadi cinta pertama neneknya?
Fandi menggandeng Kakek Bambang untuk duduk. Lalu, menjelaskan, “Kek, ini Riky yang Fandi ceritakan.”
“Aaah, si penulis, ya?” tanya Kakek Bambang dengan intonasi pelan dan lambat khas orang-orang yang usianya sudah senja.
Riky melirik Fandi yang memberikan kode agar ia mengiyakan pertanyaan itu. “Begitulah, Kek. Saya ingin tahu Peristiwa 65 dari saksi sejarahnya langsung.”
Tanpa ia sangka-sangka, Kakek Bambang justru tertawa, “Semua kisah perang sama saja. Tidak ada yang istimewa. Luka yang ditimbulkan, sama. Kehilangan yang tak tergantikan. Amarah meletupkan dendam. Perburuan yang menyebabkan pengasingan. Sama saja. Bedanya hanya satu. Jika sebelumnya, kita berperang mengusir penjajah, di tahun itu Ibu Pertiwi menyaksikan perang anak-anaknya sendiri.”
“Kalau kisah pribadi Kakek sendiri? Ada yang masih Kakek ingat?”
Kakek Bambang terdiam sejenak. Matanya terpejam. Mungkin menerawang akan masa lalunya.
Cukup lama Riky menunggu, sampai akhirnya Sang Kakek berujar, “Pengkhianatan. Seorang teman melaporkan Kakek sehingga Kakek dikejar-kejar. Padahal, Kakek bukan anggota, hanya mencoba pahami ideologinya. Bertahun-tahun setelahnya, Kakek menyumpahi mantan teman Kakek itu. Tak henti-henti. Agar dia impoten, tertabrak kereta api, sampai membusuk di selokan.”
Ada jeda cukup lama sehingga Riky berniat mengajukan pertanyaan untuk menghalau kesunyian.
Namun, belum sempat ia laksanakan niat, Kakek Bambang sudah meneruskan kisah. “Tapi, sewaktu Kakek bertemu neneknya Fandi, semua dendam itu sirna. Barulah Kakek menyadari bahwa semua kejadian itu pasti ada alasannya. Kakek harus mengalami peristiwa itu terlebih dahulu agar kabur ke Bali. Dan bertemu gadis cantik bernama Gusti Ayu Handayani.”
“Pak, maaf.” Seorang perawat menyela cerita Kakek Bambang. “Ibu menanyakan Bapak. Katanya nggak mau minum obat kalau bukan Bapak yang kasih.”
Kakek Bambang terkekeh. “Aaah, perempuan. Semuanya sama. Maunya dimanja. Kalau tidak, gonjang-ganjing dunia.”
Riky tersenyum mendengar candaan Kakek Bambang. Dengan dipapah oleh Fandi dan perawat, Riky ikut menjajari langkah laki-laki sepuh itu.
“Nak Riky sudah berkeluarga?”
“Belum, Kek.”
“Apa lagi yang ditunggu? Kalau sudah ada gadis yang membahagiakan hatimu, bawa dia ke pelaminan. Jangan sampai diambil orang. Kamu juga, Fandi!”
“Nggak mesti buru-buru juga, Kek. Masih banyak yang perlu disiapkan. Uang, rumah, mental –