“JANGAN, Key!”
“Cuma minggu ini kesempatanku, Mel. Habis itu, dia udah berangkat,” kata Keyko perlahan. Ia dan sahabatnya, Melissa sedang beristirahat di kantin menunggu jam masuk perkuliahan berikutnya.
“Tapi, kalau dia nggak....” Lawan bicaranya berhenti.
Keyko mengerti. Sudah berulang kali Melissa mengingatkannya risiko jika ia nekad teruskan rencana.
Melissa ada benarnya. Sangat benar. Makanya, ia hanya mampu terdiam. Pupil matanya bergerak-gerak ke sembarang arah. Jarinya mengetuk-ngetuk meja kantin tanda berpikir. Antara beraksi sesuai rencana atau diam selamanya: yang mana akan ia pilih?
***
Sepuluh tahun yang lalu.
“Bagus apanya? Ini, sih, tempat jin buang anak, Ma.”
“Eh, ngomongnya, kok gitu?”
Ribut-ribut itu menarik perhatian Keyko yang sedang mencari harta karun di halaman samping. Ia tinggalkan tanah galian begitu saja untuk mengintip sumber keributan yang terjadi di rumahnya.
Di teras, ada seorang tante yang mengetuk pintu. Lalu, ada om yang sibuk bercermin pada kaca jendela. Di tengah mereka, ada anak laki-laki berkacamata yang bibirnya cemberut seperti jeruk purut. Tidak lebih besar dari Keyko yang saat itu masih berusia dua belas tahun.
Dari dalam rumah, Bunda menyambut mereka. Om dan Tante mengenalkan diri sebagai penghuni baru rumah seberang.
“Wah, ini siapa?” tanya Bunda kepada anak laki-laki berkacamata itu. Iya, yang bibirnya cemberut tadi.
“Alex, Tante.”
Bunda menjabat tangan anak laki-laki itu. “Kamu sepantaran anak Tante, deh. Mana, ya, dia? Keyko!”
Keyko menarik kepalanya takut ketahuan. Akan tetapi, sudah terlambat karena Bunda telah berujar, “Bunda lihat, lho. Ayo, sini. Kenalan sama Alex!”
Selagi Bunda bercerita tentang kompleks tempat tinggal mereka yang baru dibangun, Keyko meneliti Alex dari atas ke bawah. Wajah Alex yang pucat pasti karena jarang terkena sinar matahari. Badannya yang ceking pertanda dia anak laki-laki yang lemah. Dan penakut, pikir Keyko sambil menyunggingkan senyum jahilnya.
“Mau lihat tempat seram, nggak?” ajak Keyko. “Ada pohon horornya, lho,” tambahnya.
Alex melengos dan menggeleng.
“Ih, takut, ya?” goda Keyko.
“Aku ini anak cowok. Nggak kenal kata takut! Yang penakut, sih, anak perempuan. Ayo!”
Pancingannya berhasil.
***
Kepada Bunda, Keyko pamit bermain ke taman. Padahal, ia mengajak Alex ke kampung sebelah dengan melewati jalan rahasia. Lalu, ia dan tetangga barunya itu teruskan langkah melewati pohon-pohon rimbun.
“Sampaaai,” seru Keyko.
“Mana?”
Keyko menunjuk pohon paling besar, “Itu.” Berbeda dari pohon yang lain, pada dahan paling besarnya terjulur tali tambang.
“Mana seramnya? Cuma karena ada talinya?”
“Ih, sembarangan. Coba aja nyebrang sungai pakai tali itu! Kalau nggak bisa, seram, tahu!”
Keyko melirik anak laki-laki di sebelahnya. Alex memerhatikan sungai yang tidak seberapa besar di hadapan mereka. Kacamata tetangga barunya itu melorot.
“Takut?” tantang Keyko.
Anak laki-laki yang baru dikenalnya itu menggeleng lemah. Namun, lama-kelamaan gelengan kepalanya semakin mantap. Tahu-tahu, Alex melepaskan kacamatanya yang melorot dan menyimpannya di dekat akar pohon besar.
“Pegang bagian atas tali. Lari dari batas ujung pohon. Nah, lompat ke sana pas kamu sedang melayang tinggi-tinggi,” komando Keyko.
Alex yang termakan tantangannya sudah bersiap-siap dengan tali yang terpegang erat-erat.