“DIA itu kamu.”
Bagaimana seorang laki-laki seharusnya bereaksi ketika sahabat wanitanya menyatakan cinta? Teman bermain sejak kecil. Tetangga yang berseliweran setiap saat di depannya laksana saudara.
Bagi Alex, ia hanya mampu berkata, “Ah, bercanda.”
Keyko yang berdiri di hadapannya menggelengkan kepala berulang kali. “Aku serius.”
Alex mengalihkan pandangan ke seberang sungai. Sayang, tali ayun yang biasa mereka jadikan mainan semasa kecil dulu sudah lenyap. Jika masih ada, niscaya ia akan menggunakannya untuk kabur.
“Terus?” Begitu Alex menanggapi pengakuan cinta sahabatnya itu. Irit bicara. Tidak seperti biasanya yang penuh guyonan kalau mengobrol dengan Keyko.
“Aku ingin tahu kamu punya perasaan yang sama, nggak?” tanya gadis itu lugas.
***
Dua setengah tahun yang lalu.
Seorang gadis berambut pendek tergopoh-gopoh mendatangi Alex yang saat itu sedang duduk di kantin.
“Alex, selamaaat!” seru wanita itu.
Alex tersenyum lalu memeluk si pemberi selamat. Wanitu itu adalah Keyko, sahabatnya sejak kecil.
“Kalian tahu, kan, kalau dosen nggak boleh peluk-peluk mahasiswa?”
Alex menoleh. Ternyata, Keyko ditemani oleh temannya, Melissa. Buru-buru, laki-laki itu melepaskan Keyko dari dekapannya.
“Apa, sih, Mel? Sama sahabat sendiri juga.”
“Iya, nih. Lagi pula, kalian itu anak Sastra. Bukan Arsitektur, jurusan yang aku ajar,” bantah Alex menguatkan pendapat Keyko.
“Tetap aja judulnya dosen Universitas Batavia.”
“Asisten dosen,” kata Alex meralat Melissa.
“Semoga cepat diangkat jadi dosen tetap, ya, Lex.”
Alex mengamini doa Keyko tersebut. “Jadi nggak sabar, nih, mau menyiksa mahasiswa dengan segambreng tugas-tugas,” katanya jahil.
Rencana licik Alex disambut dengan seringai dari Keyko dan Melissa. Bahkan, keduanya berebutan memberikan ide yang bisa Alex lakukan untuk membuat mahasiswanya kibarkan bendera putih tanda menyerah terhadap mata kuliah yang diajarkannya.
“Oh, ada anak Sastra yang kurang se-ons ternyata. Pantas, berisik banget!”
Tanpa memutar tubuh, Alex tahu siapa pemilik kalimat tersebut. Ratu, pacarnya sejak semester satu. Ia memang janjian dengan wanita berambut panjang itu di kantin. Ada obrolan pribadi yang perlu ia sampaikan.
Untunglah, Keyko dan Melissa tidak tersinggung dan membuat situasi jadi lebih rumit bagi Alex. Keduanya pamit dan meninggalkannya bersama Ratu.
“Jangan kasar begitu, dong, Tu,” tegur Alex begitu mereka berdua sudah duduk berhadap-hadapan.
“Itu mah fakta. Bukan kasar. Jadi anak Sastra mah nggak perlu capek-capek mikir. Cuma datang, duduk, diam, dijamin dapat A. Bandingkan sama Arsitektur. Makanya, yang otaknya kurang se-ons, pada masuk Sastra, deh,” jawab wanita itu lalu meminum es jeruk.
“Kamu sendiri apa? Sudah mengulang berapa mata kuliah?” sindir Alex. Sudah bukan rahasia kalau teman seangkatannya itu jarang masuk dan kesulitan mengikuti pelajaran.