Sepulang dari kampus setelah dihajar oleh Riky.
Alex melihat sebuah lingkaran merah yang mengelilingi sebuah tanggal di kalender meja di kamarnya. Ia tidak lupakan tanggal tersebut karena ia menerima surat keputusan resmi pengangkatannya sebagai asisten dosen di Universitas Batavia. Di hari itu juga, Alex memproklamirkan “putus” kepada Ratu. Ia telah menghitung-hitung. Tepat empat bulan yang lalu.
Akan tetapi, informasi dari Riky menyatakan Ratu telah hamil lima bulan. Kapan terakhir ia berhubungan intim dengan gadis itu? Sebulan sebelum putus? Dua bulan? Seminggu? Dua minggu? Aaargh, kenapa Alex tidak mampu mengingatnya dengan tepat?
Alex membuang kalender dan mengambil ponselnya. Berulang kali, ia menelepon Ratu. Teleponnya tidak diangkat.
Ia mencoba lagi. Namun, kali ini nomor kontak gadis itu tidak bisa dihubungi sama sekali.
Tiba-tiba, telepon genggam yang ia pandangi berdering. “Nah,” Alex bersorak membaca nama mantan pacarnya itu di layarnya.
“Besok, deh, jam dua sore,” kata Ratu sewaktu Alex meminta waktu untuk bertemu dengan gadis itu.
“Besok?” Alex teringat janji dengan Ibu Olivia. Sama-sama besok. Pameran karya Walter Gropius yang akan mereka kunjungi berlangsung mulai jam empat sore.
“Kalau nggak mau, mah, ngapain telepon. Jangan ganggu-ganggu aku lagi. Bye!”
“Eh, tunggu-tunggu. Bisa!” sahut Alex cepat.
***
Hari pertemuan Alex dengan Ratu yang bersamaan dengan rencana kencan pertama bersama Ibu Olivia.
Sebelum bertemu dengan Ratu, Alex menyempatkan diri mencari segala hal tentang kehamilan lewat internet. Kandungan lima bulan berarti janin telah memiliki organ tubuh yang lengkap.
Merinding Alex mengetahui bahwa ia akan memiliki keturunan. Ia sendiri belum terbayang apa yang akan ia lakukan. Apakah bertanggung jawab dan meminta Ratu menikahinya? Atau tidak perlu menikah dan meminta hak asuh sang anak ketika lahir nanti?Ketika Ratu akhirnya muncul di kafe, -terlambat hampir satu jam dari yang dijanjikan-, Alex sedikit terkejut. Ratu tidak seperti wanita hamil pada umumnya. Memang, mantan pacarnya itu terlihat berisi namun perutnya tidak buncit. Jika tidak mengenal Ratu, Alex menerka wanita itu hanyalah perempuan yang berbobot penuh lekuk yang seksi.
“Eh, Riky nggak ikut?” tanyanya memulai percakapan sambil melirik arlojinya.
“Nggak usah lama-lama. Mau ngomong apa?” kata wanita itu terdengar ketus di telinga Alex.
“Aku harus bagaimana?”
“Maksudnya?”
“Kamu hamil. Aku akan bertanggung jawab kalau itu memang harus. Apakah kita harus menikah? Kamu yakin mau melahirkannya? Kamu inginnya apa? Aku harus apa? Coba kasih tahu aku,” berondong Alex dengan berbagai pertanyaan.
Lebih cepat lebih baik. Ia tidak mau terlambat menemui Ibu Olivia sehabis dari ini, batin Alex seraya melirik jam tangannya. Setelah itu ia mencoba mengonfirmasi keragu-raguannya, “Benar sudah lima bulan, Tu?”
Sekonyong-konyong, puluhan sedotan terbang ke wajah Alex. Laki-laki itu memejamkan matanya. Untung, Alex belum memesan minuman apa-apa. Jika sudah, bisa dipastikan wajahnya akan disiram oleh Ratu, sama seperti kejadian terakhir kali di kantin kampus mereka.
“Kamu, mah, nyuruh aku datang ke sini cuma untuk menghina. Hei, asal kamu tahu ya. Kamu juga berbuat dosa. Nggak perlu merendahkan aku seenak kamu.”
Aaargh, Alex membisu. Tidak mengerti di bagian mana dari kata-katanya yang menghina sang mantan.
“Kamu pikir aku cewek gampangan yang tidur dengan sembarang laki-laki?”
Alex membuka mulut hendak membantah sangkaan wanita itu. Ia sama sekali tidak bermaksud menuduh mantan pacarnya seperti itu.
Akan tetapi, Ratu sudah mendahuluinya, “Paling nggak aku mempertahankan bayi ini. Aku, mah, sadar sudah berbuat dosa sekali. Aku nggak mau menambah dosa lagi dengan membunuhnya.”
“Kamu salah tangkap maksud aku, Ratu. Aku nggak –
“Aaah... auuuh....” Tiba-tiba, Ratu mengaduh.
Alex panik. “Kenapa? Kenapa?”
Ratu tidak menjawab hanya menggeliat sambil melingkari tangan ke perutnya. Pengunjung kafe yang lain mulai menonton mereka. Hanya melihati saja tanpa mencoba membantu.
“Tolong, Mas!” teriak Alex kepada siapapun yang bersedia membantunya.
Tidak lama kemudian, pelayan kafe membawakan kursi roda. Alex membopong mantan pacarnya itu untuk segera duduk. Bersama-sama pelayan tersebut, Alex mendorong kursi sambil mencangklong tas Ratu menuju klinik yang berada di lantai yang sama dengan keberadaan kafe.