SELAMA lima tahun menjadi dosen di Universitas Batavia, banyak perubahan yang Olivia alami. Misalnya saja, tadinya ia tidak mengerti bahasa gaul khas penduduk Jakarta. Maklum, meskipun beribukan seorang Indonesia, ia lahir dan besar di Jerman. Sekarang, ia sudah bisa menirukan remaja yang sedikit-sedikit menyeletukkan kata “keleus”. Selain itu, awalnya, ia dipandang nyentrik karena kerap mengajak mahasiswa ke luar ruangan ketika mengajar. Tahu-tahu, metodenya itu dianggap lebih efektif untuk memperlancar kemampuan Bahasa Jerman para mahasiswanya.
“Mbak, silakan. Biar nggak capek dedek bayi di perutnya,” kata seseorang yang memangku mantel tebal dari bulu sintesis.
Namun, ada juga beberapa hal yang tidak berubah. Salah satunya adalah perut zero pack-nya yang selalu dianggap sedang hamil.
“Oh, tidak. Saya gendut. Tapi, bukan hamil,” balasnya kepada penumpang kereta api di depannya yang menawarkan tempat duduk itu.
Wajah perempuan yang menyangkanya berbadan dua itu memerah. “Maaf, Mbak. Maaf banget.”
Olivia tersenyum menunjukkan ia tidak sakit hati dengan sangkaan itu. Umurnya sudah tiga puluh dua. Bukan usia yang aneh untuk hamil. Paling-paling, ia menikmati saja sikap salah tingkah mereka yang telah salah menduga tentangnya itu. Seperti saat ini. Tiba-tiba, penumpang di sebelah wanita itu turun. Otomatis, iapun duduk di samping perempuan yang telah menduganya sedang hamil itu. Alamat, akan lebih lama wanita itu merasa canggung. Olivia menyembunyikan senyum.
“Sekali lagi maaf banget, Mbak. Bukan bermaksud untuk nggak sopan,” kata wanita itu berulang-ulang.
Olivia tersenyum kecil. “Tidak apa-apa. Berhenti di stasiun mana?”
“Di Sudirman. Mau ke Grand Indonesia. Ada date. Kencan.”
Masih berbicara mengenai hal-hal yang tidak berubah dari dirinya, ia menambahkan satu lagi. Ketidakberuntungannya dalam soal asmara.
Semasa di Jerman, sifatnya yang konservatif dianggap tidak menarik bagi banyak laki-laki di sana. Ada, sih, yang mencoba-coba untuk dekat dengannya. Namun, begitu Olivia menunjukkan keteguhan prinsip, kekakuan, dan hanya mengenal batasan hitam dan putih yang jelas dalam hubungan asmara, pelan-pelan mereka akan mundur teratur.
Begitulah. Bagi wanita itu, jika menjalin sebuah hubungan, harus dilandasi niat melanjutkan jalinan kasih itu sampai ke jenjang tertinggi, yaitu pernikahan. Kalau tidak serius, buat apa memulainya?
“Blind date, lho, Mbak,” kata penumpang di sebelahnya setengah berbisik. “Aku udah disebut-sebut perawan tua. Harus buru-buru cari pasangan,” lanjutnya sambil tertawa.
Olivia mengernyitkan dahi. Kalau gadis itu dilabeli perawan tua, apa sebutan yang tepat untuk dirinya? Nenek-nenek perawan?
“Maklum, aku udah 25 tahun. Jadi, waktu saudaraku bilang ada temannya yang juga sedang mencari jodoh, aku minta dikenalin aja.”
Olivia bergidik ngeri. Padahal, usia gadis itu masih muda. Tidak perlu tergesa-gesa menikah. Tapi, apa? Gadis itu malah tidak memperhitungkan keselamatannya sendiri dengan mengambil risiko bertemu orang aneh.
“Aku udah lihat foto profilnya di Whatsapp. Gagah. Ada sedikit brewok di dagunya. Namanya Johan. Dia juga udah tahu aku. Dari Whatsapp juga. Tapi, untuk jaga-jaga, aku bilang kalau aku bawa mantel super tebal ini agar dia bisa langsung mengenali.”
Olivia mengangguk-angguk, “Oh, begitu rupanya.” Dari tadi, ia bertanya-tanya alasan seseorang membawa-bawa jaket musim dingin di negara tropis seperti Indonesia, terutama Jakarta yang panas.
“Ini item fashion terbaru. Properti pemotretan. Aku pinjam aja. Jadi, cowok itu nggak akan salah orang nanti.”