“Sudah lama mau ke sini. Tapi, karena jauh baru sempat sekarang,” kata Johan sebaik mereka sampai.
“Jauh? Memangnya, dari mana?”
“Planet Bekasi,” jawab laki-laki itu tertawa.
Olivia pun ikut tersenyum. Letak Bekasi sebenarnya tidak begitu jauh dari Jakarta. Namun, perjalanan ke arah sana sungguh ruwet dan memakan waktu panjang, sehingga kerap menjadi olok-olok.
“Hm, vinyl The Beach Boys,” celetuk laki-laki itu ketika melewati sebuah toko musik.
Membaca “Pet Sounds” pada sampulnya, sontak Olivia bersenandung, “I know perfectly well, I’m not where I should be....”
“Judulnya ‘You Still Believe in Me’. Kok tahu? Ini, kan lagu lama.”
Wah, Olivia kurang hati-hati. Ia mengingat-ingat, berapa usia wanita yang ditemuinya di kereta tadi? Dua puluh lima. Ya, umur yang dikeluhkan sudah dilabeli perawan tua. Olivia meringis. “Karena suka sama lagu ‘Wouldn’t It Be Nice’ di film ‘50 First Dates’, jadi cari tahu semua lagu The Beach Boys.”
Untunglah, Johan mengangguk-angguk. Sejauh ini, penyamaran Olivia sebagai Rana masih aman. Untuk memuaskan rasa penasaran, ada beberapa hal yang Olivia ingin tahu mengenai laki-laki itu. Tapi, ia takut ketahuan bahwa ia bukanlah wanita yang seharusnya ditemui Johan. Bahwa ia mencuri kencan dengan berpura-pura menjadi Rana. Jadi, ia hanya bisa diam dan memandangi Johan yang menghampiri kasir dan membayar beberapa piringan hitam.
“Kita makan, yuk!” ajak laki-laki itu.
Tentu saja, Olivia menyambutnya dengan gembira karena dari tadi ia sudah kelaparan setengah mati.
***
Dari berbagai gerai makanan di Pasar Santa, Olivia dan Johan memilih The Cute Meet Roastbeef sebagai makanan mereka. Irisan daging sapi yang dipanggang dengan proses slow-cooking dan saus barbeque membangkitkan selera mereka.
“Biar saya yang bawa sekaligus cari meja,” kata Johan membawa dua boks hidangan yang telah dibayar oleh laki-laki itu.
Sebelum Olivia menjajari langkah Johan, koki The Cute Meet Roastbeef memberitahu, “Ngomong-ngomong, kita lagi punya promo, Mbak. Ada voucher untuk lima orang pemenang yang diundi setiap bulan. Caranya, cukup masukkan kartu nama di kotak ini. Kalau terpilih, nanti kita hubungi. Lumayan, lho.”
Dengan memanggul mantel musim dingin yang berat di bahu kirinya, Olivia mengambil kartu nama dan mencemplungkannya ke dalam boks tertutup yang berwarna biru tua. Setelah itu, ia menghampiri Johan yang melambaikan tangan karena telah menemukan tempat duduk.
“Kenapa, tadi?”
“Oh, itu, ditawari ikut undian berhadiah voucher. Caranya cuma memasukkan kartu nama saja.”
“Kalau menang, berarti harus ajak saya lagi,” kata Johan lalu meletakkan satu porsi menu daging panggang di hadapan Olivia.
Dosen Sastra Jerman itu tersenyum, “Pasti,” janjinya.
“Jadi, sudah siap?” tanya Johan.
Olivia bingung. Ia menelengkan kepala. Siap untuk apa? Ia bingung.
“Ide kamu yang memberikan lima pertanyaan buat dijawab pada pertemuan ini bagus juga,” ujar Johan lalu mengeluarkan buku notes. “Jadi, kita punya banyak bahan buat mengobrol.”
Gawat, pertanyaan apa? Ia tidak tahu apa-apa. Olivia meremas tangannya. Apakah penyamarannya akan segera terbongkar? Olivia mengacak-acak tas, “Sepertinya tadi sudah dimasukkan. Kok, tidak ada, ya?” keluhnya berpura-pura.
“Hm, mungkin kamu sudah kerepotan membawa mantel ini. Jadinya, lupa. Saya bacakan saja, ya?”
Olivia tersenyum. Untunglah Johan tidak mencurigai dan mempermasalahkannya lebih jauh.
“Siap?” tanya Johan yang langsung Olivia sambut dengan anggukan. “Foto selebriti yang diam-diam pernah kamu cium?”