Obsesi Riky dalam mengenalkan Johan kepada Kandidat Pacar berikutnya tidak kunjung padam. Bahkan, tidak segan-segan rekan kerjanya itu melakukannya dengan sedikit tipuan.
Sore itu, tergopoh-gopoh Johan mendatangi Riky di sebuat pusat perbelanjaan. Maklum, sebelumnya rekan kerjanya itu menelepon dan meminta tolong dibawakan materi proposal yang ketinggalan di kantor. Terengah-engah, akhirnya Johan sampai juga di tempat yang terkenal untuk menikmati minuman anggur, tujuan pertemuan yang diminta Riky.
“Bro, datang juga, lo.”
Johan menghampiri Riky. Ia sedikit curiga dengan keberadaan wanita berparas ayu di samping rekan kerjanya itu.
“Kenalkan, ini Juli, Bro. Anak IT. Kerja di mana, Jul?”
“Askitel,” jawab Juli sembari tertawa.
Benar saja. Perempuan yang ada di depannya itu adalah kandidat terbaru yang hendak dijodohkan Riky kepadanya. Demi basa-basi, Johan menjabat tangan perempuan itu.
“Maaf, ini fail yang diminta! Sudah, ya,” kata Johan menyerahkan tumpukan dokumen kepada Riky.
“Lah, mau ke mana? Duduk dulu, Bro. Kita dengar dulu Askitel itu apa. Gue penasaran. Cerita, dong, Jul!”
“Iya, jadi Askitel itu....” Perempuan bernama Juli itu menghentikan kalimatnya. “Mas, duduk, dong! Nanti ngalah-ngalahin Nyonya Meneer, lho.” Tak ayal, Johan tertawa terbahak-bahak mendengar lelucon dari Juli.
Wanita yang punya selera humor bagus selalu punya tempat buatnya.
Setelah berbincang-bincang singkat, tahu-tahu Riky pamit kepada Johan, “Gue ditungguin klien, nih. Bro, lo bawa mobil, nggak?” tanya rekan kerjanya itu.
“Bawa mobil kantor. Mau diantar?”
“Oh, nggak nggak. Bukan buat gue. Please antarin Juli, Bro. Tadi, katanya dia harus udah di rumah neneknya jam tujuh. Oke, Bro?”
Belum juga Johan mengatakan apa-apa, Riky sudah bergegas meninggalkannya bersama Kandidat Pacar #4. Tapi, kali ini Johan tidak melakukan banyak protes seperti biasanya. Gadis yang dikenalkan kepadanya itu menyenangkan. Selalu tertawa. Tak pernah lepas dari senyum. Tak pelak, dengan suka rela Johan mengantarkan gadis yang baru dikenalnya tersebut.
***
“Masuk dulu, Mas!” ajak Juli sesampainya mereka di halaman rumah nenek Juli.
Tanpa pikir panjang, ia mematuhi. “Hm, pintunya gebyok Jawa, ya?”
Juli tertawa kencang. “Iya, nenekku orang Jawa.”
Johan tidak bermaksud melucu. Tetapi, ia ikut-ikutan nyengir. “Rumahnya kelihatan nyaman,” pujinya.
Tawa terbahak-bahak Juli kembali bergema di telinga Johan. “Namanya juga rumah, Mas. Bukan penjara. Ya, harus nyaman.”
Johan mengernyitkan dahi. Jika ditilik-tilik, tidak ada yang lucu dari kalimatnya barusan. Hm, mungkin gadis itu memang hobi tertawa, katanya dalam hati.
“Nah, yuk masuk! Juli kenalkan sama semuanya.”
Johan menemukan puluhan orang lalu lalang sebaik pintu gebyok dibuka. Banyak yang tersenyum, tidak sedikit yang tertawa terbahak-bahak. Sekilas, ia sempat terpikir sedang berada di ruangan penuh gas tawa.
“Juli, cucu kesayangan Nini. Sini, sini.”
Juli tertawa menerima sambutan dari neneknya. “Selamat ulang tahun, Nini tersayang. Makin dekat mati, dong, Ni,” canda gadis itu masih diiringi suara tawa yang tidak berkesudahan.
Topik yang dipilih untuk lelucon sudah tidak lucu menurut Johan. Begitupun, derai tawa Juli mulai terasa tidak normal di labirin otaknya. Tapi, kelihatannya nenek gadis itu mempunyai selera humor ekstrem yang sama, karena nenek Juli pun ikut tertawa-tawa menunjukkan gusinya.
“Datang sama siapa, nih, cucu kesayangan Nini?”
“Sama pacar, dong. Seperti yang Juli bilang. Sayang, kenalin! Ini Nini, nenek Juli. Si birthday girl.”
Johan melongo. Pacar? Sayang? Sejak kapan mereka berkomitmen demikian? Tidak bisa dibantah lagi, menurutnya perempuan yang baru dikenalnya itu agak tidak waras. Dengan wajah pucat pasi, Johan mereka-reka cara agar bisa kabur secepatnya menghilang dari hadapan Kandidat Pacar nomor empat.
Dalam hati Johan bertekad, bukan hanya ‘ketupat bengkulu’ yang akan diterima Riky ketika ia bertemu rekan kerjanya itu nanti. Jurus pukulan tangan baja sudah ia persiapkan dengan maksimal.
***