“Rana, Rana! Nggak apa-apa, kan? Rana?”
Mendengar ketukan itu, Rana mengutuk dirinya dalam hati. Cewek mana yang bersembunyi di kamar mandi setelah gagal menonjok mantan pacar yang ketahuan berselingkuh?
Sebenarnya, tadi ia mau pulang saja. Namun, ia ingat kalau tasnya masih berada di kafe. Jika ia berbalik, Rana tidak sanggup mendapati tatapan kemenangan dari mantan pacar dan sang cewek selingkuhan. Oleh sebab itu, ia berbelok ke kamar mandi. Di sana, ia puas-puaskan menangis sampai hanya isakan-isakan belaka yang keluar dari tenggorokannya. Berharap ketika ia sudah selesai nanti, laki-laki yang menyakiti hatinya telah berlalu dari kafe.
“Rana? Cowok itu sudah pergi, kok.”
“Siapa?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Maaf, ini yang tadi di kasir.”
“Sebentar,” katanya lalu membuang ingus. Mata Rana merah dan sembab. Gadis itu berusaha mengakali dengan membasuh wajah. Lalu, ia mencari-cari kacamata. Bodoh, umpatnya kepada diri sendiri karena tentu saja aksesori itu ada di dalam tasnya. Patah hati membuatnya linglung.
“Kamu baik-baik saja, kan?” sambut Petugas Toko sekeluarnya gadis itu dari toilet.
“Yaaah, gitu, deh.”
Meskipun jawaban itu seharusnya cukup sebagai bukti bahwa tidak perlu ada yang dikhawatirkan dengan dirinya, laki-laki itu tidak juga menyingkir dari jalannya.
Rana lalu menegaskan, “Aku baik-baik saja.”
“Tak usah kau tangisi pergikuuu,” sambung Petugas Toko menirukan lagu yang pernah dipopulerkan kelompok penyanyi, Ratu.
Rana menaikkan alis, “Heh?”
“Sori, terlalu cepat bercandanya, ya?”
Senyuman sang penjaga toko merekah. Sama seperti sebelumnya, cahayanya menyebar ke semua yang berada sekitar senyum itu. Kehangatannya menerpa wajah Rana sampai-sampai pelupuk matanya berkejap-kejap. Sekonyong-konyong, Rana tertawa. Tawa terbahak-bahak yang ditumpahkan tanpa segan. “You made my day,” katanya diikuti cengiran lebar dari Petugas Toko.
“Kamu lupa, ya?”
“Apa? Kenapa?” Rana mengorek ingatannya. “Oh, iya. Kartu kredit nggak bisa, jadi belum bayar CD. Maaf, aku cuma perlu tahu di mana tas –
“Willy.”
“Apa?”
“Namaku Willy, supaya kamu nggak menyebut aku dengan sebutan Petugas Toko terus dalam pikiran kamu.”
Rana tersenyum kecil mendengar penuturan yang jujur itu. “Aku Rana,” jawabnya.
“Iya, tahu.”
“Oh, iya. Tadi waktu di kasir.” Rana mengemukakan fakta bahwa namanya telah tersimpan karena memesan CD.
Willy menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kita pernah ketemu di Cherry Belly.”
Kenapa petugas toko itu menyebutkan nama kantor tempat Rana bekerja?
“Aku pernah jadi fotografer di sana. Kamu baru masuk waktu aku mau keluar. Aku yang bantuin Anto memotret katalog bulan Mei.”
Rana memerhatikan pria itu lekat-lekat. “Astaga, yang traktir piza?” Ia tertawa canggung lebih karena menutupi kealpaannya dalam mengenali Willy. Itu, dan, satu lagi adalah kenapa ia bertemu dengan mantan rekan kerjanya tersebut dalam situasi yang memalukan begini.
“Ayo, sini!” ajak Willy tiba-tiba.
Meskipun bingung, Rana mengikuti langkah Willy. Akan tetapi, tidak lama kemudian ia menggerutu, “Stupid, mau bikin aku kesal?” Rana mengeluh tatkala mengetahui bahwa Willy mengajaknya ke kafe. Persis di tempat ia memergoki mantan pacarnya bersama wanita lain.
“Tungguin!”
Ditinggal oleh pria itu, Rana baru mendapati tidak ada pengunjung lain di kafe itu. Untunglah, kalau ia menemukan penampakan sang mantan pacar, satu helai rambut sekalipun, pasti sudah ia cakar-cakar pria itu.
Sejurus kemudian, wangi masakan menerpa hidungnya. Harumnya membangkitkan selera sehingga, tanpa dikomando, perutnya berbunyi menuntut diberikan asupan. Dari dalam meja bar, Willy muncul dengan membawa piring yang bertutup kubah aluminium.