Cinta Ini Rasa Itu

SURIYANA
Chapter #13

Keluarga Tanpa Rencana (Bagian 1)

JANGAN cuma satu,” ujar Willy sambil memasukkan buku notes pink. Ia pun membungkus kumpulan benda yang sudah ia pilih ke dalam kotak. Tiba-tiba, ada yang bergetar dari saku celananya. Willy sisihkan pekerjaannya dan menarik telepon genggamnya. Tadinya, hendak ia abaikan saja, tapi batal karena membaca identitas penelepon.

“Lagi sibuk beres-beres, Ma.”

Isakan tangis yang tertahan terdengar dengan sangat jelas dari ujung telepon.

Mama bukanlah termasuk ibu yang gampang mengeluarkan air mata. Oleh sebab itu, gugup ia bertanya, “Kenapa, Ma?”

Di sela-sela tangis, ibunya berkata, “Adikmu, Wil.”

Jantungnya berdegup kencang. Ada apa dengan ketiga adiknya? Siapa yang dimaksud Ibu? Sindi? Sierra?

Pikiran Willy terpotong oleh kalimat lanjutan dari ibunya, “Melissa. Dia tahu.”

***

Ketika bayi perempuan bermata bulat dan berkulit sewarna teh susu muncul di rumah mereka, Willy baru berusia tujuh tahun.

“Adik bayi datangnya dari mana, sih, Ma?” “Burung bangau yang membawakan,” jawab ibunya.

Ia yang belum paham proses reproduksi melanjutkan tanya, “Kenapa nggak bawa adik cowok saja? Yang bisa lari, biar aku ajak main layangan.”

Kalimat itu berbuah kecupan dari ibunya. “Karena Tuhan tahu Willy akan jadi abang yang baik dan sayang sama adiknya. Yang mau membantu Mama dan Papa merawat serta melindunginya.”

Kalau itu, sih, mudah. Willy tahu caranya menjadi abang yang baik juga sayang kepada adik bayi. Begini salah satunya. Spontan ia mencium leher bayi yang tertidur di gendongan Mama itu. Terus, merawat bisa jadi artinya bikin susu setiap kali adiknya itu menangis.

Namun, syarat yang terakhir sama sekali di luar pikiran Willy yang masih kecil. “Melindungi itu aku harus apa, Ma?” tanyanya yang disambut tawa serta peluk cium dari Mama tercinta.

***

Seiring pertambahan usia, sedikit demi sedikit Willy belajar makna tugas sebagai pelindung adiknya yang pernah disematkan oleh Mama. Ternyata, tugasnya kecil-kecil saja. Menjaga Melissa agar tidak terantuk meja. Mengawasi jangan sampai adiknya menyentuh benda-benda tajam. Dan yang lainnya yang mirip dan semacam itu. Willy senang-senang saja menjalaninya karena akan ada hadiah bolu karamel dari Mama setiap ia melakukan tugasnya dengan baik.

Akan tetapi, ketika ia berusia tiga belas tahun, barulah Willy tahu tugasnya tidak segampang yang ia kira sebelum ini.

Hari itu hari pertama sekolah. Sewaktu jam istirahat, teman sekelas Willy mengajaknya jajan di warung SD. Disebut demikian karena berlokasi lebih dekat Sekolah Dasar ketimbang gedung SMP tempatnya bersekolah.

“Eh, Wil. Itu bukannya adik lo, ya?”

Dengan mi yang menempel di bibir Willy, remaja tanggung itu menoleh. Benar itu Melissa. Tapi, kenapa adiknya itu tersedu-sedu? Cepat-cepat diseruputnya mi yang sudah setengah jalan ke mulutnya itu. Tanpa memedulikan temannya yang protes karena Willy kabur tanpa membayar makanannya terlebih dahulu, ia menghampiri Melissa.

“Mel, mau ke mana?” tanyanya sebaik langkah Willy berdampingan dengan adiknya itu.

“Mel... nggak... mau... sekolah,” jawab adiknya diselingi isakan.

“Kenapa?”

“Mel... anak... buangan. Dari... tempat... sampah.” “Yang bilang siapa?”

“Mono,” jawab adiknya diakhiri tangisan yang semakin melengking. Tugas sebagai pelindung Melissa harus segera dijalankan. Untungnya, ia tahu siapa yang disebut adiknya itu. Tetangga yang tinggal di deretan terjauh gang rumah mereka.

Setelah mengantarkan adiknya pulang, serta-merta, Willy menunggui anak kecil yang menyebabkan Melissa menangis. Benar saja. Tidak lama setelah bubaran sekolah, Mono muncul di gang. Langsung saja Willy menarik kerah seragam anak kecil sepantaran adiknya itu. “Jangan ganggu Mel lagi. Kalau nggak, awas!” ancamnya.

“Aku nggak salah, kok. Aku nggak bohong,” teriak Mono yang lehernya semakin terjepit.

Tiba-tiba, tangan Willy tersentak karena pukulan ranting kayu.

Lihat selengkapnya