Bulan Ramadhan pertama yang dihabiskan oleh Willy dan keluarganya tanpa kehadiran Melissa.
“Kalau Sindi sama Sierra menginap di Ayahnya, rumah jadi sepi sekali.”
“Si Kembar lebaran di mana, Ma?” tanya Willy.
“Ke tempat neneknya di Palembang.”
“Kok nggak sama Mama?”
“Tidak apa-apa. Sampai tahun lalu, kan, sama Mama terus. Biarlah sekali-kali ke keluarga ayahnya,” jelas Mama santai dengan situasi keluarga mereka yang jauh dari kata ideal. “Ngomong-ngomong, Willy, kamu sudah telepon adikmu?” lanjut wanita yang melahirkannya itu.
Willy tidak ingin menjawab pertanyaan itu. “Buka puasa dulu, Ma,” kata Willy sambil menyendokkan telur dadar ke piring ibunya itu.
“Mintalah Mel pulang! Buka pakai apa dia di kosan? Bagaimana dia sahur?”
“Mel lagi sibuk, Ma. Aku tanya ke dosen walinya, dia lagi nyelesaiin skripsi.”
Senyum di sudut bibir ibunya membuat Willy senang. “Adikmu itu memang pintar, Wil. Dari dulu, selalu dapat beasiswa. Kamu ingat, tidak? Waktu SD, Mel dapat PR Matematika. Tentang persamaan. Dia tidak bisa kerjakan satu soal. Dicoba berulang-ulang, kok, jawabannya tidak pas. Sampai kemalaman tidur dia. Pagi-pagi, Mel masih penasaran. Terus, diantar Papa ke rumah Pak Bonar yang guru Matematika SMP. Tetangga kita itu pun menjawab sama seperti Mel. Tapi, dia masih bingung, kok tidak cocok. Akhirnya, Mel pasrah dan berangkat ke sekolah. Ternyata, adikmu yang salah menyalin soal. Harusnya angka delapan tapi adikmu menulis enam,” cerita Mama sambil terkekeh.
Willy bertambah gembira. Jika suasana hati ibunya ceria, biasanya Mama makan lebih banyak. Ia tambahkan nasi ke piring ibunya.
Namun, gerakan sendok Mama terhenti. “Jangan lupa nanti telepon adikmu, ya. Setiap Mama menelepon, tidak pernah diangkat.”
“Maklum, Ma. Namanya juga mahasiswa tahun terakhir. Sebentar lagi lulus. Pasti banyak tugas yang harus dia kerjakan.”
“Tapi, dari mana Mel dapat uang, Wil? Untuk beli buku? Internet? Kamu rutin kirim ke tabungannya, kan?”
“Sesuai permintaan Mama yang paling cantik sedunia,” kata Willy menggoda agar ibunya gembira.
Berhasil. Mamanya tersenyum. Sayangnya, hanya sebentar, karena ibunya itu berkesah, “Mama kangen sekali sama Mel. Ingin bertemu. Ingin melihatnya. Memeluk dan mengusap-usap rambutnya.” Mamanya berhenti berkisah. Mungkin menerawang kenangan bersama adiknya.
Willy ikut merasakan kesedihan dan kerinduan Mama terhadap adiknya itu. Tapi, apa lagi yang mampu ia lakukan untuk mengembalikan kerukunan keluarganya lagi seperti semula?
Beberapa detik kemudian, Mama mengingatkannya lagi dan lagi, “Jangan lupa telepon adikmu, ya.”