Cinta Ini Rasa Itu

SURIYANA
Chapter #17

Bonus Bahagia (Bagian 1)

BATALIN!”

Suara apa itu? Nadanya nyaring. Dia simpan julukan Suara Nyaring untuknya. Meskipun mampu menangkap getarannya, dia tidak tahu apa maksud kata itu. Muncul dorongan untuk sembunyikan diri. Dia menarik mundur kepalanya.

Lah, nggak bisa, Sayang. Kamu udah janji, kan?” Kalau yang ini, suaranya lebih berat. Suara Berat.

“Cepat, Bu. Bahaya kalau terlalu lama.”

Dia belum sempat mengidentifikasi jenis suara barusan, sudah ada yang bergema lagi dengan nyaring. “Batalin!” begitu bunyinya.

“Iya, iya. Sekarang, fokus saja sama bayi itu!”

Kemudian, ada erangan aneh dari si pemilik suara nyaring. Tubuhnya terdesak semakin ke bawah. Kakinya menggapai-gapai berusaha tetap berada dalam genangan nyaman. Tapi, lenguhan bercampur teriakan menjebol pertahanannya. Dia pun meluncur ke sebuah tempat dengan panas yang menyinari matanya. Sakit. Oleh sebab itu, dia menangis sekencang-kencangnya.

“Selamat, Bu. Laki-laki.”

Asupan makanannya dipotong. Kejam sekali bapak berpakaian biru-biru itu. Dia menangis lebih keras.

Tiba-tiba, badannya melayang dan mendarat tujuh detik kemudian. Tempatnya mendarat sangat empuk. Lebih nyaman ketimbang mengapung dalam genangan air di rumah sebelumnya. Tubuhnya juga terasa hangat. Lebih baik daripada panas cahaya yang menyakitkan matanya. Dia berhenti menangis dan sibuk berkenala. Dia mengusap-usap kepalanya pada bantalan empuk. Kemudian, bibirnya terantuk sesuatu. Dia beranikan untuk membuka mulutnya.

Haha, anak pintar ini mah. Langsung nemu aja.”

Apa yang masuk ke mulutnya sangat enak. Dia berlama-lama menikmatinya. Lebih lezat dari makanan di rumah lamanya. Ternyata, tempat barunya ini tidak seburuk yang dia kira. Dia ingin berada di pelukan hangat si pemilik suara nyaring itu selamanya.

***

“Apa? Kamu, kan, sudah janji?”

Suara Nyaring sebabkan pandangannya berubah. Taman bermain penuh selimut bunga-bunga menjadi pendaran biru dengan bintik-bintik hitam. Itu yang dia saksikan ketika mengangkat penutup dua lingkaran kecil di wajahnya. Tapi, di mana Suara Nyaring?

“Tuh, kan, kamu, mah, malah membangunkannya.”

Tidak lama kemudian, dia diangkat Suara Nyaring. Pengalaman pertamanya ketika menemukan sumber makanan, terjadi lagi. Cepat-cepat ia raup.

Lah, sejak awal juga kita sepakat ke yayasan.”

Dia melepaskan mulutnya. Pupilnya menaik. Dia ingin mendapat gambaran jelas akan si pemilik suara berat. Warnanya gelap tapi ada pendaran panas seperti yang dia rasakan ketika baru membuka mata.

“Tapi, umurnya belum ada empat puluh hari. Tega kamu, Ky.”

Suara Nyaring mendekatkan bongkahan yang dia suka itu ke mulutnya. Dia tidak pernah tidak tergoda sehingga menuruti dengan menjemputnya cepat.

Please, kamu yang tega. Apa nggak pernah terpikir gimana perasaan aku setiap menyaksikan anak istrinya dari laki-laki lain? Membesarkannya?”

Untuk beberapa saat, dia hanya menangkap bunyi kecipak dari mulutnya yang rakus menikmati makanan. Tapi, akhirnya, Suara Nyaring berkata, “Tunggulah sampai kebutuhan ASI eksklusifnya terpenuhi.”

Dia melepaskan mulut. Pupil yang belum sempurna mendapatkan pantulan warna hijau yang gelap dari si pemilik suara nyaring. Dia menangkap bibir yang berbentuk gundukan tanah di tempat bermain khayalannya. Dia menirukan bentuk itu.

“Enam bulan.”

Kenapa detakan tubuh Suara Nyaring bertalu-talu? Semakin cepat. Temponya sama seperti ketika dia membuka mata dan tidak menemukan Suara Nyaring berada di dekatnya. Dia tahu rasa itu bukan bagian dari sesuatu yang menyenangkan. Refleks, dia menggenggam apapun yang terjangkau oleh tangannya untuk mencari perlindungan.

***

Ada sosok gelap yang menusuk-nusuk lengannya. Disusul embusan udara yang membelit lehernya. Detak dari dalam dirinya bergemuruh. Sontak, dia membuka mulutnya lebar-lebar. Teriakan membahana dan tangisan bercucuran menghinggapi wajahnya.

Lihat selengkapnya