“Riky, aku tahu ini udah enam bulan lebih. Tapi, aku, mah, belum siap. Tolonglah, diperlama. Sedikiiit lagi.”
Dia melambai-lambaikan tangannya. Dia mau Ibu mendekatinya. Tapi, baik Ibu maupun Suara Berat tidak ada yang memerhatikannya.
“Terus, nggak menepati janji lagi? Kamu, kan, yang bikin janji?”
Dari posisi duduk, dia merendahkan badan. Kedua tangan yang di depannya dijadikan pijakan. Lalu, dia merangkak menuju tempat Ibu. Tapi, kaki belakangnya tidak mau menurut. Dia geser perlahan-lahan.
“Aku tahu. Tapi, tolonglah lihat aku sebagai seorang Ibu. Apa mungkin seorang Ibu dipisahkan dari anaknya?”
“Nah, kalau bapaknya?”
“Apa?”
“Kalau terpisah dari bapaknya, nggak apa-apa?”
“Riky! Aku, mah, udah jujur, ya, sebelum kita menikah. Aku melakukan kesalahan dengan satu pria. Laki-laki itu nggak ada di sini! Yang bisa diandalkan Mario, ya cuma aku. Lagian, dari dulu aku udah kasih tahu kondisiku. Dan, waktu itu kamu bilang akan terima aku apa adanya.”
“Terus, kalau bapaknya ada, kamu nggak masalah, kalau Mario dikasih ke dia?”
“Riky –
Sampai. Dia merambati kaki Ibu yang duduk di sofa dan mencoba berjejak dengan dua kakinya. Dia jatuh.
Ibu beralih kepadanya, “Mario.” Ibu menggendong dan menciuminya. Dari gendongan Ibu, dia menutup mata lalu membukanya kembali. “Oh, mau main cilukba, ya?”
“Waaa.” Dia menjulurkan lidah ke arah Suara Berat.
Suara Berat tertawa.
Dia pun ikut tertawa. “Wa wa wiih wa.”
***
“Mario belajar makan, ya.”
Dia tidak suka diletakkan di kursi tinggi ini. Perutnya terhalang kalau dia mau mengambil barang yang jauh. Dia menghembuskan udara dari mulutnya. Dia menendang-nendang kakinya.
“Mario, mah. Nggak boleh gitu. Coba buburnya, ya.”
Kenapa bukan mulutnya yang mencari-cari sumber makanan? Dia tepis benda yang disodorkan ke arahnya.
“Coba, deh, Mario. Ini enak.”
Baunya saja aneh. Dia menyingkirkan makanan itu.
Udara berhembus kencang dari mulut Ibu. Bahaya. Suara Nyaring tidak bahagia.
“Untung, Ayah bersedia memundurkan niat untuk menyerahkan kamu ke yayasan. Tapi, Ibu nggak tahu sampai kapan Ibu mampu menundanya? Jadi, kamu harus sehat, Nak. Harus tahu ada makanan lain selain susu Ibu. Supaya kamu nggak mencari-cari Ibu nanti.”
Suara Ibu tidak seperti biasanya. Suara itu seperti suaranya sendiri kalau dia belum didekatkan kepada sumber makanan. Bergetar. Kalau dia sebentar lagi akan berteriak kencang dan menangis. Kalau Ibu?
“Coba lagi. Ini udah Ibu campur dengan susu Ibu.”
Dia mengendus mangkok yang disodorkan Ibu. Baunya familiar. Ini seperti yang biasa ia nikmati selama ini. Saking ingin tahu, hidungnya sampai terperosok ke dalam mangkok. Dia usap mukanya.
Ibu tertawa. “Muka Mario jadi penuh bubur.”
Bubur. Dia menyimpan kosa kata itu di perutnya. Dia masukkan jari yang terciprat bubur itu ke dalam mulut. Enak. Dia towel lagi. Seruput lagi.
“Enak, ya? Ini, Ibu suapin, ya.”
Benda panjang dengan ujung membulat mendekati mulutnya. Apa? Apa yang harus dia lakukan? Dia menghalau benda itu. Jatuh. Namun, di tangannya, menempel makanan barunya. Dia jilat. Enak.
Ibu tertawa. Dia ikut memamerkan isi mulutnya. Belakangan ini, bagian depan mulutnya terasa gatal. Ada tonjolan putih di salah satu gusinya.
“Kamu, mah, kalau Ibu sendokin, harusnya mulutnya dibuka lebar. Kayak begini, nih.”
Dia mengikuti raut wajah Ibu. Mulut terbuka seperti akan menangis. Tapi, bukan untuk berteriak kencang dan menangis. Benarkah seperti yang dia lakukan saat itu?
“Ratuuu!”
Seketika Ibu menjatuhkan sendok. Makanan itu pun batal mendarat di mulutnya.
“Kemeja yang hitam mana, ya?”