“INGAT-INGAT lagi, Bro. Lo ngapain aja sama dia?”
Tidak perlu diberitahu oleh Riky. Itulah yang sedari tadi sudah Johan lakukan. Mereka bertemu di Stasiun Sudirman. Kemudian, ke Pasar Santa. Lalu, penyamaran gadis itu ketahuan.
“Yang dia omongin apa?” tanya Riky lagi.
Ia menegakkan badan. “Benar juga.” Dari obrolan terakhir dengan wanita itu saat dia ketahuan. “Hm, dia dosen,” jelasnya.
“Oke! Kita hanya perlu cari satu dosen dari puluhan kampus di Jakarta.”
Ia tidak membantah kalimat sarkasme dari rekan kerjanya itu. Sembari memutar-mutar kursi yang ia duduki, Johan mengulangi kembali kencan satu harinya bersama Brenda Walsh KW 2. Olivia. Tercantik dari yang paling cantik seperti arti nama wanita itu.
“Nggak tukaran kartu nama, Bro? Kayak gue, setiap kenal sama orang baru, pasti langsung kasih kartu nama.”
Ke arah Riky, Johan melempar tetikus nirkabel di meja kerja karena itu benda yang terdekat dengan tangannya. “Dia itu lagi nyamar jadi Rana palsu. Mana mungkin saya minta kartu nama....” Sontak, memori terkecil yang hampir terbuang menekan tombol ingatannya.
“Kenapa, Bro?”
“Kartu nama. Kamu cerdas. Jenius. Ikut saya!”
***
“Aku ingin tahu kamu punya perasaan yang sama atau nggak?”
Laki-laki di hadapan Keyko itu menunduk. Sesekali, Alex meliriknya. Sikap sahabat sejak kecilnya itu tidak lagi santai seperti biasanya.
“Lex?” tanya Keyko menuntut jawaban. “Jujur aja! Aku nggak masalah walau itu bikin aku kecewa.”
“Ah....” Alex memasukkan tangan ke saku celananya.
Tidak perlu seseorang sekaliber Einstein untuk menyimpulkan kalau laki-laki itu gugup. Tidak perlu psikolog ternama untuk mengetahui bahwa laki-laki ragu-ragu bertindak.
“Keyko, aku sayang, kok, sama kamu. Sejak kamu menunjukkan tempat ini.”
Apa? Keyko tidak salah dengar, bukan? Senyumnya silau seolah-olah sedang menerangi panggung konser internasional.
“Eh, bukan sayang seperti yang kamu maksud. Tapi, sayang seorang kakak kepada adiknya.”
Dengan cepat senyumnya meredup dan berganti menjadi garis datar di wajahnya.
“Kamu ingat, kan? Waktu kecil kamu sering tidur siang di rumahku karena Bunda belum pulang kerja. Itu membuatku terbiasa dengan kehadiran kamu. Bahwa kamu adalah bagian dari keluargaku. Sama seperti Bunda yang sudah seperti ibuku juga.”
Diam. Diam. Diam, begitu batin Keyko berteriak.
Seolah-olah mengerti keinginan hatinya, Alex tidak lagi melanjutkan kata-katanya. Keheningan menyelimuti keduanya. Sayang, sungai yang dahulu sering mereka seberangi sudah tidak lagi mengalirkan air. Jadi, tidak ada yang menyembunyikan detak jantungnya yang berlari-larian. Seketika itu, Keyko menyesal telah meminta laki-laki itu diam.
“Keyko, maaf, ya.”
Ia memalingkan wajah dan mendongak ke langit demi menahan diri agar air matanya tidak jebol.