“Oma....”
Riky mengintip ke halaman belakang tempatnya biasa menemani neneknya bermain catur. Tidak ada siapa-siapa.
Ia meneruskan langkah ke bagian terdalam rumah neneknya itu, “Omaaa!”
“Sst, jangan berisik Mas Riky.”
Dengan tergopoh-gopoh, asisten rumah tangga yang ikut tinggal dan menjaga Oma datang dari arah dapur. “Oma kurang enak badan. Lagi tidur.”
“Rikyyy.” Tiba-tiba panggilan itu terdengar.
Riky mendatangi kamar Oma. “Si Cantik lagi sakit rupanya,” sapanya setengah menggoda.
Oma menegakkan tubuh dan bersandar pada kepala ranjang. “Mario tidak dibawa, Ky?”
“Aku tadi langsung dari kantor. Oma sakit apa?”
“Biasalah, sudah tua.”
Nada suara neneknya itu terdengar lemah. Refleks, Riky memijat lengan Oma. Tidak tahu apakah usahanya itu mampu membuat neneknya sedikit baikan atau tidak.
“Kamu ada apa ke sini?” tanya Oma serak.
Riky memberikan gelas berisi air yang tersedia di meja di samping tempat tidur neneknya itu. Dengan sabar menunggu Oma selesai meneguk minuman, barulah ia memberikan jawaban, “Ingat, nggak sama cinta pertama yang Oma cerita waktu itu?” Sambil meletakkan gelas di tempat semula, ia memulai cerita.
“Mas Bambang?”
Riky mengangguk. “Orangnya ketemu, Oma.”
Sekonyong-konyong, muncul binar terang di mata neneknya itu. Intonasi suaranya begitu lantang ketika berujar, “Masih ada?”
Untuk orang-orang seusia neneknya, pertanyaan tersebut adalah hal yang terpenting untuk diketahui. Riky tersenyum. “Bugar dan sehat,” katanya mengingat perawakan Kakek Bambang ketika bertemu dulu.
“Terus, tadi cucu Kakek Bambang menelepon, Ma. Kakeknya ingin sekali bertemu dengan Oma.”
Oma duduk menegak mendengar penuturannya. “Di mana? Apa mau ke sini? Suruh si Imah belanja, Ky. Kita harus masak kesukaannya. Nasi Rawon. Getuk Lindri –
“Oma, Oma. Nggak sekarang. Bukan hari ini,” kata Riky menenangkan neneknya itu.