“Mau ambil hadiah atas nama Rana,” ujarnya kepada Penjaga Toko. Tidak. Rana tidak boleh memanggil laki-laki itu dengan sebutan demikian karena Sang Penjaga Toko sudah pernah menyebutkan namanya. “Tolong hadiahnya, Willy.”
“Cuma perlu beberapa tahun untuk kamu kembali ke sini. Lama juga, ya?” kata laki-laki itu.
“Yaaah, itu mungkin karena aku takut.” Rana menggigit bibirnya. Bukan itu kalimat yang ingin ia sampaikan. Tapi, ia gugup luar biasa. Ada sepercik penasaran yang membuatnya ingin mengenal lebih dekat dengan laki-laki itu. Namun, ada sejentik rasa enggan memasuki area baru yang tidak familiar buatnya.
Sebentar,” pinta Willy lalu berjongkok dan hilang dari pandangannya. Tidak lama kemudian, laki-laki itu menyembulkan diri. “Masih takut?”
Sontak, tawa menyembur dari mulut Rana. “Itu dapat dari mana?” tunjuknya mengacu kepada kacamata yang dikenakan oleh Willy. Bukan sembarang kacamata karena ada alis setebal ulat bulu, hidung plastik, serta kumis ala Charlie Chaplin yang menempel di bingkainya.
“Bagus. Sudah bisa ketawa berarti nggak takut lagi melihat aku, kan?”
Setiap kali bertemu, Pemilik Toko Pustaka itu selalu memancingnya untuk terus tertawa. “Dulu, kamu kasih Paket Patah Hati, sekarang ada kacamata itu. Ini tempat apa, sih, sebenarnya?” tanya Rana setengah bercanda.
“Tempat yang bakal bikin kamu terus tertawa.”
Rana tersenyum. Kata-kata itu menyusupkan kehangatan ke relung jiwanya. Seolah-olah hatinya telah terbiasa dengan alunan suara laki-laki itu.
“Well, thank you. Paket yang kamu kasih berhasil menyadarkan aku. Bahwa hidup bukan hanya masa lalu, tapi juga masa depan.”
“Kalau begitu, berarti siap, dong, memulai memori terbaru yang lebih indah?” tanya Willy.
“Nope,” jawab Rana tegas.
“Lho?”
“Hadiahnya dulu, mana? Katanya....”
Willy tersenyum ketika berkata, “Kamu bawa notes yang pink, kan?”
Rana mengubek-ubek tas sandang yang ia bawa dan menyerahkan buku yang dimaksud oleh laki-laki itu.
Ia diam saja memerhatikan pemilik Toko Pustaka itu meneliti salah satu hadiah Paket Patah Hati yang dulu diterimanya. Masih mengenakan kacamata lucu, laki-laki itu menuliskan sesuatu di buku tersebut.
Ketika buku itu akhirnya dikembalikan kepadanya, Rana hanya menampak sederetan nomor di sana. Ia memandangi laki-laki itu kebingungan.
“Itu telepon aku. Kapanpun dan apapun yang kamu perlukan dariku, aku bakal melakukannya semampuku. Ini hadiahku untuk kamu.”
Jantung Rana seolah-olah meledak dengan taburan kebahagiaan ketika mendengar jawaban laki-laki itu. Ini paket hadiah yang sempurna.
***
Universitas Batavia itu luas sekali. Begitulah yang Johan sadari ketika kakinya menginjak lobi Gedung C. Tadi, ia nyasar ke wilayah Fakultas Hukum. Padahal, dosen yang ia cari mengajar Bahasa dan Sastra Jerman. Berbekal tanya sana-sini, seseorang menunjukkan jadwal Rana Palsu mengajar. Sekarang, bangunan tempat Olivia sedang mengajar sudah ada di hadapannya.