Linda yang baru saja menuntaskan mengajar pada jam pelajaran terakhir di kelas X IPS 2, dikejutkan oleh kerumunan murid perempuan yang berkumpul di depan ruang guru. Mereka membuat kehebohan seperti sedang menonton konser band kesayangan atau tengah meet and greet dengan artis favorit. Ada yang terlonjak bahagia, ada pula yang memasang wajah sangat antusias.
Linda pura-pura terbatuk, membuat kerumunan itu hening sejenak dan memberi jalan padanya agar bisa masuk ke dalam ruang guru. Berkali-kali guru muda yang cantik jelita itu mengibas-ngibaskan sebelah tangannya untuk mengusir gerah. Setelah berada di dalam, lagi-lagi Linda disuguhkan pemandangan yang aneh tapi nyata. Dia merasa heran, dengan tingkah para guru perempuan yang bersikap layaknya ABG yang sedang bertemu artis idola. Heboh berfoto-foto dengan seorang pria tak dikenal serta mengeluarkan suara gaduh seperti kerumunan para murid perempuan tadi.
Linda sama sekali tak tertarik untuk mencari tahu pria yang sudah membuat suasana ruangan ini ramai seperti di terminal. Pikirnya, pria yang sudah berhasil mencuri perhatian rekan-rekannya itu, paling juga tukang kain seragam dan batik meteran yang tengah tebar pesona supaya dagangannya laris manis. Linda lebih memilih menuju mejanya dan meletakkan semua bawaannya dari kelas di atas meja, yaitu daftar nilai, daftar absensi, dan buku pegangan guru. Dia tertawa kecil dan geleng-geleng kepala menyaksikan jaket kulit KW yang dikenakan tukang kain meteran itu. Tampak jelas, pria itu berusaha tampil necis, demi menjadi pusat perhatian. Padahal, Linda yakin, pria itu paling beli jaketnya di cimol, barang sisa ekspor yang diobral dengan harga murah meriah.
“Bunda, maaf. Wali murid Boby sudah datang,” ujar Boby pelan, tetapi mampu menyentak Linda yang pandangannya masih terpaku pada kawan-kawannya.
“Oke, Ibu tunggu di ruang BK. Orang tua Arya sudah datang?” tanya Linda sembari celingukan.
“Belum, Bunda. Ibunya Arya sedang dalam perjalanan. Macet, katanya.”
“Ya, sudah. Kalau Ibunya Arya sudah datang, kamu ajak ke ruang BK juga, ya, sekalian sama wali kamu. Di sini kondisinya nggak kondusif, gara-gara kedatangan dadakan tukang kain meteran yang mengeluarkan jurus andalan supaya dagangannya laku. Ini ruang guru berisiknya udah kayak di pasar aja.” Linda menunjuk kerumunan yang masih ramai itu dengan dagunya.
“Anu, Bunda .... Itu ....” Suara dering ponsel Linda menginterupsi Boby, hingga ucapan anak itu terputus.
Linda memberi kode untuk menunggu, lantas menerima panggilan.
“Ya, Mas? Aku masih agak lama, nih, soalnya mau bertemu dulu sama orang tua murid. Kalau sudah selesai, nanti aku kabari Mas, ya.”
“Boby, ajak wali kamu ke ruang BK, ya,” suruh Linda setelah mengakhiri panggilan.
“I .... Iya, Bunda.” Boby gelagapan, sebab selama wali kelasnya bertelepon tadi, dia sedang mengamati kerumunan para guru dengan perasaan tak menentu.
“Kenapa? Kamu terpesona juga sama tukang kain meteran berjaket kulit KW itu, lalu niat beli?”
Dahi Boby berkerut. Saat hendak buka suara, wali kelasnya sudah melangkahkan kaki menuju ruang BK. Boby geleng-geleng kepala menyaksikan kehebohan yang masih berlangsung di ruang guru itu.
Setibanya di ruang BK, Linda bernapas lega, sebab terlihat kerumunan guru yang heboh berfoto dan gerombolan para murid perempuan yang seperti terkesima oleh tukang kain meteran yang datang tiba-tiba tanpa diundang, sudah membubarkan diri. Namun, alangkah terkejutnya Linda, menyaksikan Fetty, guru konseling di SMA Cerdas yang biasanya selalu terlihat tegas itu, kini sedang asyik mengobrol dengan tukang kain meteran berjaket kulit KW tadi. Sesekali, guru BK itu tampak tersipu malu.
Ya Allah, nih, tukang dagang pakai pelet apa, ya? Sampai hampir membuat semua perempuan di sekolah ini lupa diri? gerutu Linda, sembari menghempaskan badan di atas kursi.
“Nah, itu Bu Linda, wali kelasnya Boby,” ujar Fetty sambil tersenyum ke arah Linda. “Bunda, ini, lho, walinya Boby.”
Mendengar penuturan Fetty, Linda jadi merasa tak enak kepada Boby karena menyebut wali muridnya itu tukang kain meteran berjaket kulit KW. Namun, wajar dia beranggapan demikian. Kebanyakan orang asing yang datang ke ruang guru, terkadang penjaja barang cicilan dan seringnya tukang kain seragam polos mau pun batik meteran yang selalu laris manis bak kacang goreng diburu oleh guru-guru perempuan yang memang suka gonta-ganti pakaian dinas setiap harinya. Persis seperti peragaan busana saja.
“Bu Fetty, saya izin pinjam ruangannya. Yang satu lagi sedang dalam perjalanan,” pinta Linda dengan nada sopan.
Fetty mengangguk seraya tersenyum penuh arti, sambil sesekali melirik ke arah walinya Boby. “Silahkan, Bu Linda. Dengan senang hati. Tiap hari juga boleh.”
“Terima kasih, Bu.” Linda menatap heran wajah guru konseling itu dengan sejumlah tanya berkecamuk di dalam benaknya.
“Sering-sering main, ke sini, ya,” ujar Fetty kali ini ditujukan pada wali Boby, dengan wajah semringah, lalu beranjak dari tempat duduknya.
Ini orang salah makan obat, kali, ya? Kok, bisa lebih ramah dari biasanya? gumam Linda seraya mengernyitkan dahinya tak mengerti.