Usai menuntaskan urusan dengan kedua murid dan walinya, Linda kembali ke ruang guru. Tiba di sana, Linda membereskan mejanya dan bersiap untuk pulang. Sekolah sudah sepi, karena telah sekitar satu jam yang lalu para murid sudah membubarkan diri. Begitu juga dengan kepala sekolah, guru-guru, dan seluruh staf sekolah telah meninggalkan SMA Cerdas, pulang ke rumah masing-masing. Linda mengeluarkan ponsel dari saku blazernya, saat merasakan benda persegi panjang tipis itu bergetar.
Mas sudah di parkiran.
Linda tersenyum senang, membaca chat dari Bram, tunangannya. Setelah merasa yakin sudah membereskan semuanya, Linda mengganti sendal jepit dengan sepatu high heels yang sebelumnya dia pakai. Dengan langkah tergesa, Linda keluar dari ruang guru menuju pelataran parkir sekolah. Saat tiba di sana, dia berpapasan lagi dengan Boby dan Kakaknya, tukang kain meteran berjaket kulit KW yang membuat Linda ingin melayangkan sepatu high heels-nya ke wajah pria sok ganteng itu.
Namun, herannya, Bram malah bersalaman dengan pria itu ketika mereka berdua berpapasan. Ketika Linda mendekat, Bram mengenalkannya pada Bima.
“Sasha, ini teman kuliah Mas sewaktu di Melbourne. Namanya Bima Arisetya. Dia sudah jadi penyanyi solo terkenal, lho, sekarang.”
Linda mengangguk-angguk dengan perasaan yang tak nyaman. Untung saja, suara bass Bram yang menyebut nama panggilan sayang untuknya, sedikit menyejukkan hati. Namun, seketika saja rasa nyaman di hatinya itu luntur, saat Linda melirik ke arah wajah Bima. Pria itu kini tengah tersenyum-senyum kepadanya, seperti yang biasa dilakukan oleh kebanyakan pria untuk menggoda lawan jenis. Linda menjadi jengah dan semakin tak suka. Dia menarik lengan Bram agar lebih dekat ke arahnya.
“Iya, Mas, udah kenalan tadi. Dia wali muridku.”
Mata Bima sedikit menyipit, saat menyaksikan Bram mengelus puncak kepala Linda yang tertutup jilbab penuh kasih sayang seraya tersenyum lembut.
“Bim, ini tunangan aku, Linda. Beberapa bulan lagi kami akan melangsungkan pernikahan. Kamu datang, ya. Dan sebagai kadonya, aku minta kamu menyanyikan salah satu lagu romantis milikmu.”
Bima mengangguk, sementara kedua matanya masih menatap Linda dengan penasaran. Hal ini membuat Linda semakin merasa tidak nyaman, hingga merasa tidak sabar untuk mengajak Bram sesegera mungkin meninggalkan tempat itu. Ada sesuatu dari tatapan tukang kain meteran itu yang membuat guru muda itu ingin segera pergi menjauh.
“Mas, ayo. Nanti butiknya keburu tutup.”
Bram mengusap pelan jemari Linda yang melingkari lengannya. Hal ini tak luput dari perhatian Bima. Pria itu hanya tersenyum samar dan tak bersuara sedikit pun.
Bram melihat jam Rolex yang melingkar di pergelangan tangannya. “Ah, iya. Sudah setengah empat, jam pulang kantor. Jalanan pasti macet banget.”
Bram menatap lekat wajah cantik Linda. Guru muda cantik itu membalas dengan senyuman manis dan sebuah anggukan pelan.
“Bim, pulang dulu, ya. See you next time,” pamit Bram sambil menyalami Bima.
“Oke. Nanti kita nongkrong bareng, Bram. Kayak zaman kuliah dulu,” balas Bima yang dijawab Bram dengan anggukan.
Tangan Bima kini terulur ke arah Linda. Awalnya guru muda itu hanya meliriknya saja dengan enggan, tetapi, karena menghormati Bram, akhirnya Linda membalas dengan menjabat tangan Bima cepat-cepat.
“Bunda, Boby pulang dulu, ya.” Boby meraih tangan Linda dan mencium takzim punggung tangannya.
Linda tersenyum penuh kasih sayang, respons yang berbanding terbalik dengan yang dia perlihatkan pada Bima yang masih intens menatap Linda. Untung saja, Bram sudah kembali ke kursi pengemudi, hingga Bima tak perlu susah payah lagi menahan pandangannya dari Linda.
“Elo beruntung banget ditatap lembut, gitu sama wanita cantik. Kenapa ke gue pandangannya kayak yang nggak suka, ya?” bisik Bima pada Boby, membuat adiknya itu mengernyitkan dahi sembari menatap heran sang kakak.
Bima tak habis pikir, sejak pertama kali melihat Linda tadi, wanita cantik itu telah berhasil mencuri perhatiannya, mengalahkan rasa kecewa Bima karena adik bungsunya ketahuan merokok di sekolah. Padahal, sebelumnya, Bima tidak pernah merasa tertarik pada seseorang yang berasal dari kalangan biasa. Bukan seperti wanita-wanita cantik dari kalangan kelasnya.
Namun, entah mengapa, dia sendiri tak mengerti dengan munculnya ketertarikan pada Linda dalam hatinya secara tiba-tiba, bersamaan dengan kenyataan yang harus diterimanya, kalau ternyata Linda adalah milik orang lain yang dikenalnya semasa kuliah.
Setelah mobil yang dikendarai Bram meninggalkan area sekolah, Bima mengenakan kacamatanya, lantas bergegas masuk ke dalam mobil sport-nya yang berwarna merah.
“Elo langsung pulang ke rumah?” tanya Bima datar. Boby menjawab dengan bimbang.
“Di rumah nggak ada orang, Aa. Mama udah tiga hari nggak pulang-pulang.”
Bima menoleh pada Boby yang memasang wajah muram dan cemas.
“Elo udah coba menghubungi Mama?” Boby mengangguk pelan.
“Udah, Aa, tapi hp Mama nggak aktif.”
“Ya, udah. Elo ambil baju ke rumah. Nanti nginep di apartemen gue. Tapi, nggak apa-apa, ‘kan kalau nanti gue tinggal? Hari ini gue syuting, terus ada acara off air sampai malam.”
Boby menghela napas berat. “Apa bedanya dengan di rumah? Gue tetap aja ditinggal sendirian. Belum lagi nanti abis acara, Aa mampir-mampir dulu.” Boby mengerucutkan bibirnya.
“Gue janji bakal langsung pulang.” Bima berusaha menghibur sang adik. “Kalau elo bosan, elo main PSP aja. Banyak game baru di dalamnya.”
Wajah cemberut Boby berganti ceria. Kedua matanya berbinar bahagia. “Siap. Elo nggak balik pun, gue nggak masalah. Elo nggak usah khawatir, gue bakal jagain apartemen elo dua puluh empat jam full.”
Bima tertawa sembari mengacak-acak rambut adiknya. “Elo udah makan?”
Boby menggeleng lemah. Dia hanya sempat mengisi perutnya dengan dua buah tempe mendoan saat ketahuan merokok tadi. Sesudah itu, dia tak makan apa-apa lagi sama sekali.
“Kita mampir makan dulu,” ujar Bima sambil menyalakan mobilnya dan meninggalkan pelataran parkir sekolah yang sudah sepi.
***