Linda dan Bram berjalan dengan jemari saling bertautan di sepanjang area Car Free Day Dago yang sudah dipadati oleh para pejalan kaki dan pesepeda. Hari Minggu, memang merupakan jadwal rutin mereka menghabiskan waktu berdua dengan berolahraga sepanjang area CFD Dago ini. Senyum dan tawa merekah tak pernah pudar dari dua sejoli yang beberapa bulan lagi akan mengucap janji setia sehidup semati di hadapan penghulu, keluarga besar kedua belah pihak, wali, dan juga para saksi.
Sesekali, jemari Bram mendarat cantik di pipi mulus Linda, menciptakan rona semburat merah jambu, yang membuat wajah cantik sang gadis semakin memesona. Usai berolahraga dan menikmati pertunjukkan seni tradisional Calung yang dimainkan oleh sekelompok anak muda, mereka menyeret langkah menuju ke depan SPBU Dago yang dipenuhi gerobak penjual kuliner tradisional. Karena tak ada kendaraan bermotor yang lewat, area SPBU ini pun tak beroperasi. Namun, tetap saja, suasananya ramai seperti hari-hari biasanya, karena area SPBU ini, dimanfaatkan anak-anak untuk bermain dan berolah raga, di antaranya sepak bola, bulu tangkis, dan skateboard.
“Mas, nggak keberatan, ‘kan, kalau aku selalu ngajak Mas Bram makan bubur ayam di pinggir jalan begini?” tanya Linda setelah mereka duduk di bangku penjual bubur ayam langganan Linda.
Bubur ayam di depan SPBU Dago ini, memang favorit Linda. Selain rasanya enak, toppingnya pun lengkap, mulai dari ayam suir, cakwe, telur ayam rebus, ati ampela, dan masih banyak pilihan topping lainnya. Tak heran, apabila banyak yang mengantre ingin menikmati sarapan dengan bubur ayam lezat aneka topping ini.
“Sha, kenapa selalu itu saja yang kamu tanyakan? Mas suka, kok, dengan kelezatan bubur ini. Bikin kangen.”
“Bukan, begitu, Mas. Soalnya, Mas, ‘kan, berasal dari keluarga ....” Linda tak melanjutkan bicaranya. Dia mengamati lekat wajah tampan tunangannya itu, khawatir, pria itu tersinggung dengan ucapannya.
“Khawatir Mas gengsi, makan di pinggiran, begitu? Karena Mas berasal dari keluarga berada?”
Linda mengangguk pelan sembari menunduk, tak kuasa membalas tatapan lembut dan teduh milik Bram.
“Sasha, kita sudah kenal lama. Kamu tahu, ‘kan, Sayang, Maa bukan tipe seperti itu?”
Lagi-lagi Linda membalas dengan anggukan. Lidahnya kelu untuk berkata-kata, merasa bersalah sudah berpikiran begitu pada kekasih yang sudah bertahun-tahun menemani perjalanan hidupnya.
“Urusan perut mah, nggak ada kata gengsi. Dan karena hari Minggu kemarin kita nggak ke sini, Mas mau pesan porsi jumbo, untuk mengobati kangen sama bubur ayam di sini.”
Tawa Linda meledak menyaksikan Bram memegangi perutnya sambil memasang tampang kocak.
“Mas, kok, lihatin aku seperti itu? Jadi malu, nih.” Linda menghentikan tawanya sembari salah tingkah mendapati Bram tengah menatapnya lekat.
“Ketawamu bagus. Pantas saja Bima begitu terpesona dan terobsesi ingin mengambil posisiku. Dengan riasan yang natural pun, Sashaku tetap cantik.” Bram meraih jemari lentik Linda, lantas menggenggamnya erat.
Linda tersipu, walau sebenarnya merasa sedikit kesal mendengar Bram menyebut nama seseorang yang tidak disukainya. Sejurus kemudian, Linda khusyuk menyimak cerita Bram yang kemarin sore menemui Bima usai artis itu menghadiri meet and greet dengan para penggemarnya.
Bram menjelaskan pada Bima, bahwa Linda merasa tak nyaman dan tertekan dengan semua perlakuan Bima akhir-akhir ini. Namun, kata Bram, Bima menanggapinya dengan santai lantas menjelaskan, semua yang Bima lakukan itu adalah semata-mata sebagai bentuk rasa terima kasihnya pada Linda yang telah mengajari Boby selama ini, dan donasi itu juga tak ada maksud lain. Alasannya, karena Bima almamater di sekolah itu.
Linda menatap wajah Bram lekat. Tunangannya itu memang selalu begitu, selalu saja mudah percaya dengan ucapan orang dan selalu saja gampang luluh. Dia selalu berpikiran positif terhadap orang lain, tak pernah sedikit pun terlintas dalam benak Bram, kalau orang lain itu bisa saja punya maksud tersembunyi.
Bahkan, Bram mengusulkan, Linda lebih baik bersikap santai dan cuek saja, tak perlu terpancing dan menanggapi berlebihan dengan perlakuan Bima. Menurut Bram lagi, yang sebagai sesama laki-laki, kalau Linda bereaksi dengan sikap Bima, justru itu akan mengundang Bima untuk semakin penasaran dan terus berusaha mengejar Linda.
Tak berapa lama, dua mangkuk bubur ayam, sudah tersaji di hadapan mereka, membuat perut Bram dan Linda semakin keroncongan. Keduanya mulai menikmati bubur ayam masing-masing. Namun, baru saja lima suap bubur masuk ke perut Linda, terdengar suara seseorang memanggil Linda, membuatnya berhenti menyantap bubur kesukaannya.
“Wah, Bunda, suka makan bubur di sini juga?” tanya Boby sambil mengambil tempat duduk di depan Bram dan Linda, setelah sebelumnya bergantian mencium takzim punggung tangan keduanya.
“Iya, ini memang favorit Bunda. Kamu sama siapa ke CFD ini? Sama Arya?” Linda celingukan.
Dalam hati, Linda berharap Boby ke sini bersama teman-temannya, bukan dengan tukang kain itu. Namun, harapan tinggal harapan, Linda mendadak mulas melihat sosok yang mendekat dan langsung duduk di samping adiknya.
Walau dia melakukan penyamaran agar tidak dikenali banyak orang, terutama para penggemarnya, yaitu dengan memakai wig di kepalanya serta mengenakan topi yang menutupi wajahnya, Linda tahu, kalau sosok itu adalah si tukang kain meteran. Linda mengerucutkan bibirnya, tetapi sentuhan lembut Bram di tangannya dan sebuah senyum manis yang dilemparkan tunangannya itu, membuat Linda teringat saran darinya.
Linda menghela napas berat. Baiklah, Linda. Kamu pasti bisa bersikap biasa-biasa aja. Anggap kamu nggak kenal dia. Linda memutuskan untuk tak memedulikan kehadiran orang itu dan kembali menikmati bubur ayamnya.
“Hei, Bim, ke CFD juga? Memangnya nggak lagi sibuk?” tanya Bram, memecahkan keheningan yang tercipta.
“Kebetulan lagi santai dan kaki gue udah lama nggak diajak jogging. Sekalian juga nemenin adek jalan-jalan.”
Linda mendengus sebal, saat ekor matanya menangkap, pria itu menatapnya sambil senyum-senyum. Sebelum Linda semakin kesal, dia berusaha mengalihkan perhatian pada Bram. Jadi adem rasanya.
“Mas, di buburku ada kacangnya. Buat Mas aja, ya.”
Linda yang memang tak menyukai keberadaan topping kacang di atas bubur ayam atau nasi kuning juga nasi uduk, mulai menyingkirkannya dan menuangkan topping itu ke dalam mangkuk bubur milik Bram.
“Nggak apa-apa, karena Mas suka, pasti Mas makan, kok. Mungkin Mamang penjualnya lupa, saking banyaknya pembeli.”
Hal ini tak luput dari perhatian Bima. Dia mulai mencatat dalam benaknya satu perkara yang tidak disukai Linda. Begitu juga dengan mangkuk bubur ayam milik Linda, tak lepas dari pandangannya. Dia sendiri pun tak paham, mengapa dan untuk apa dia sangat tertarik untuk memperhatikannya.
Berarti, Linda termasuk kubu penyantap bubur ayam tanpa diaduk dan nggak suka pakai kacang, gumamnya sambil manggut-manggut.
Untung saja, saat pesanan Bima dan Boby tiba, Linda dan Bram sudah selesai menyantap bubur ayam masing-masing. Bram yang sangat mengerti dengan perubahan raut wajah Linda, segera saja pamit pada Bima, membuat Linda terlihat sangat lega. Mereka berjalan menuju factory outlet yang terletak di dekat area CFD, lantas menuju ke pelataran parkir tempat Bram menyimpan mobilnya.
“Udahan dong, cemberutnya, Sasha Sayang. Kadar cantiknya jadi berkurang sedikit,” canda Bram setelah mereka berada di dalam mobil Bram.
“Habis aku kesal, Mas. Kenapa selalu saja ketemu tukang kain itu. Membuat mood ini berantakan.”
“Bagaimana kalau kita ke butik Zayn aja buat fitting lanjutan? Sekalian Mas mau membayar lunas. Habis itu, kita ke tempat desain kartu undangan, lalu kita lanjutkan perjalanan ke Ciwidey. Mas kangen sama Abah dan Ambu.”
Mendengar penuturan Bram, wajah masam Linda seketika saja berubah cerah. Dia langsung mengangguk mantap, pertanda menyetujui usulan Bram. Linda merasa sangat bersyukur memiliki kekasih yang pengertian seperti Bram. Dan dia merasa yakin, bila seharian ini menghabiskan waktu bersama Bram, mood-nya akan segera kembali membaik.
Terlebih lagi, mereka akan menemui kedua orang tua Linda di kampung halaman, membuat kedua mata indah Linda berkaca-kaca. Kerinduan yang sudah lama membuncah, kini semakin bertalu-talu. Rasanya sudah sekian lama, Linda tak berjumpa dengan Abah dan Ambu. Linda sudah tak sabar, ingin memeluk kedua orang terkasihnya itu, untuk menuntaskan kerinduan yang telah lama berjelaga di dalam dadanya.
***
Tempat pertama yang Linda dan Bram kunjungi adalah butik Zayn untuk melakukan fitting lanjutan. Zee menambahkan modifikasi pada gaun rancangannya yang akan membuat Linda tampil mempesona pada acara resepsi nantinya. Linda yang memang sudah jatuh cinta pada saat pertama kalinya melihat gaun itu, kini semakin dibuat takjub dengan hasil modifikasi yang telah dibuat oleh Zee.
Perancang busana berwajah tampan agak kemayu itu, tak mampu menyembunyikan rasa bahagianya ketika mendapat pujian dari Linda atas hasil rancangannya. Senyum Zee merekah, saat Bram melunasi biaya gaun itu.