Linda sedang memeriksa lembar ulangan harian dan memasukkan nilai-nilai siswa pada aplikasi buku kerja guru yang memuat daftar nilai di laptopnya, ketika tiba-tiba saja terdengar suara pintu kelas SPASI diketuk. Boby sang ketua kelas, berinisiatif untuk membukakan pintu kelas itu. Saat daun pintu terbuka, tampaklah Ervin, murid kelas XI sekaligus ketua OSIS SMA Cerdas berdiri di ambang pintu sembari tersenyum penuh hormat pada Linda. Sesudah mencium punggung tangan Linda, Ervin meminta izin untuk menyampaikan sesuatu di depan murid-murid kelas SPASI.
Setelah Linda mempersilahkan Ervin, mulailah ketua OSIS itu berbicara, menyampaikan pengumuman mengenai acara milad sekolah yang akan berlangsung beberapa hari lagi dan juga tentang perlombaan yang bisa diikuti oleh perwakilan murid-murid SMA Cerdas dari kelas X hingga kelas XII. Memang sudah sejak pagi, Ervin berkeliling ke seluruh kelas untuk menyampaikan berita tersebut. Usai menyampaikan pengumuman, Ervin pamit pada Linda seraya mengucapkan terima kasih dan mencium takzim punggung tangan guru bahasa Inggris itu. Sang ketua OSIS itu, lantas berlalu meninggalkan kelas SPASI hendak mengumumkan berita yang sama ke kelas lain.
Suasana kelas SPASI menjadi berisik. Bahkan, beberapa di antaranya terlihat mengerucutkan bibir, karena merasa tak terima dipilih secara sepihak untuk berpartisipasi.
“Please, jangan pilih gue buat ikut lomba kebaya. Udah tahu gue ini tomboy. Di rumah, cuma punya rok seragam ini doang, kebanyakan gue sering pakai celana. Kebayang, ‘kan, ribetnya kalau gue nanti ikut lomba, pakai kain pula. Gue nggak bisa jalan anggun. Bukannya menang, yang ada gue malu-maluin kelas ini karena jatuh,” celetuk seorang murid bernama Salma sambil cemberut, yang ditanggapi tawa oleh sebagian besar temannya.
“Mending Nida aja. Cara dia jalan, udah kayak putri keraton. Cocok, tuh, ikut lomba begitu.” Telunjuk Salma menuding ke arah Nida yang sedari tadi diam saja mengamati keadaan sekitar.
Usulan Salma langsung disambut koor setuju. Nida yang sedari tadi membisu, lantas mulai buka suara sambil senyum-senyum ke arah Boby, cowok yang ditaksirnya sejak masa orientasi hingga kini.
“Boleh aja, asalkan Boby yang jadi pasangan gue di lomba nanti.” Pipi Nida memerah seraya tersipu malu saat terdengar suara teman-temannya kompak mengucapkan kata cie.
Apalagi, ketika secara tak sengaja dirinya beradu pandang dengan Boby. Refleks, dia menjadi salah tingkah, lalu menundukkan wajah.
“Sorry, Sob. Sebagai sekretaris OSIS, gue nggak bisa ikutan, sebab posisi gue di sini adalah panitia,” tolak Boby yang disambut dengan koor bernada kecewa dari para murid kelas SPASI, terutama Nida yang sudah sangat berharap dirinya bisa berpasangan dengan sang gebetan.
“Stok cowok ganteng di kelas ini, ‘kan, banyak, Nid. Elo bisa couple-an sama Arya atau Ziyan. Mereka nggak kalah cakep, kok, dari Jungkook, pacar halu elo itu.”
Saran Boby kali ini dibalas dengan koor ber-hu ria dari semua penghuni kelas ini.
Linda geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah para muridnya itu yang mulai kasak-kusuk, hingga suasana kelas menjadi tidak kondusif. Setelah Linda mengeluarkan jurus berdeham satu kali, keadaan kelas menjadi hening. Perhatian para murid tertuju padanya.
“Kalau cara rembukannya seperti ini, sampai bel pulang pun, nggak bakalan kelar-kelar. Kalian Ibu kasih waktu sampai jam istirahat untuk membahas lomba, asalkan nggak ribut. Kalian sudah paham, ‘kan, bagaimana situasi ketika berada di dalam rapat?”
Linda diam sejenak menunggu jawaban dari para muridnya, lalu melanjutkan bicaranya. “Nah, coba kondisikan berdiskusinya seperti itu. Arya, kamu yang pimpin, ya.”
Arya mengangguk, lantas maju ke depan kelas, untuk memimpin jalannya rapat, sesuai instruksi dari Linda. Suasana menjadi aman dan terkendali, tidak lagi rusuh seperti tadi.
“Terima kasih Bunda sudah memberi kesempatan saya untuk memimpin rapat ini. Teman-teman, seperti yang tadi sudah disampaikan oleh Kak Ervin, pada acara milad sekolah nanti, akan ada lima macam perlombaan. Dan, kelima macam lomba itu, wajib diikuti. Kalau satu lomba aja nggak ada pesertanya, kelas kita bisa kena denda seratus ribu. Coba bayangkan, gimana kalau tiga lomba sama sekali nggak ada pesertanya? Kita kudu bayar tiga ratus ribu, guys. Lumayan ‘kan, bisa buat beli tiga puluh porsi spatula di kantin, atau bisa buat beli cibay , dan masing-masing kebagian tiga biji. Rasa original dan pedas.”
Linda tersenyum mendengar pembukaan dari sang wakil ketua kelas. Mendengar dua jajanan favorit disebutkan, murid-murid kelas SPASI langsung menyambut dengan riuh.
“Be quiet, guys!” teriak Arya berusaha mengambil kembali perhatian teman-temannya yang mulai buyar.
“Lomba busana daerah, tadi sebelumnya sudah dibahas sekilas. Kita sudah menunjuk Nida. Tinggal kita pilih pasangannya, saja. Kalian setuju Nida yang ikutan, atau ada saran lain?”
“Setuju, Nida aja!” seru mereka kompak.
“Gimana Nid?” tatapan Arya berpindah pada Nida.
“Kalau nggak sama Boby, gue ogah, ah.” Nida mencoba menolak usulan itu dengan malu-malu. Sesekali, dia curi-curi pandang ke arah cowok gebetannya.
Arya memandangi Boby seraya meminta bantuan ketua kelas itu untuk membujuk Nida.
“Elo aja, Nid. Cara berjalan elo bagus, udah kayak peragawati di atas catwalk. Juri pasti bakal terhipnotis. Kalau gue bukan panitia, gue mau, kok dipasangkan sama elo,” bujuk Boby seolah memahami tatapan Arya yang memohon bantuan darinya. Sang ketua kelas itu langsung mengeluarkan jurus rayuan mautnya.
Bisa aja, nih, bocah ngegombalnya, gumam Linda sambil tersenyum-senyum.
Wajah Nida tersipu mendengar ucapan Boby. Lantas, terdengarlah dengan gencar suara koor berjemaah bernada menggoda.
“Tapi, gue malu, Bob. Nggak pede.”
Boby tersenyum, lalu mengeluarkan jurus rayuan kedua. “Tenang, Nid, kalau elo ikutan, gue akan menjadi garda terdepan buat support elo biar pede dan semangat."
Terdengar suara riuh kembali seperti dengungan sekelompok lebah.
Linda geleng-geleng kepala. Dasar bocah.
“Gimana, Nid? Mau, ‘kan?” Suara Arya mengembalikan fokus teman-temannya pada rapat ini lagi.
Nida mengangguk dengan kikuk.
Linda melirik pada Arya yang mengedipkan mata ke arah Boby, membuat guru itu menyadari sesuatu. Kedua murid itu ternyata sedang melakukan strategi negosiasi agar murid yang merasa rendah diri, mau ikut unjuk gigi juga. Linda tersenyum bangga. Tak salah kalau dia dan para murid kelas SPASI memilih Boby dan Arya untuk berada di posisi penting di kelas ini.
Arya lalu menuliskan nama Nida di papan tulis. “Yang jadi pasangan Nida, siapa?” tanyanya kemudian, kepada seluruh murid kelas SPASI.
Linda mendongak heran, saat terdengar suara bisik-bisik. Tak ada satu pun murid laki-laki yang berani mencalonkan diri sebagai peserta.
“Kalau Boby nggak bisa, Arya juga oke,” ujar Shafa, yang menjadi salah satu penggemar Arya.
“Cowok di kelas ini, ‘kan, bukan hanya gue sama Boby. Ayolah, yang lain maju.”
Linda lantas melirik ke arah Gavin, murid culun dan berkacamata yang duduk di ujung kelas. Linda yakin, dibalik kacamata tebal Gavin dan julukan kutu buku yang disematkan teman-teman padanya, dia punya potensi tersembunyi. Postur tubuhnya, tak kalah tinggi dan tegap dari Boby juga Arya.