Gara-gara mimpi buruknya semalam, Linda terlihat panik, karena pagi ini dia jadi bangun kesiangan dan berangkat ke sekolah agak terlambat. Linda semakin terlihat gelisah, saat menyaksikan kemacetan di sepanjang jalan yang dilaluinya bersama Bram yang mengantar ke sekolah sekalian berangkat kerja. Linda terlihat berkali-kali berdecak dan tidak berhenti melirik jam tangannya. Bahkan, setiap kali motor melewati mobil Bram, dia langsung menggerutu.
“Sayang, just relax. Kamu nggak telat, kok,” ujar Bram dengan nada lembut, berusaha menenangkan Linda.
Guru muda itu membalas ucapan Bram dengan menatap lekat wajah tunangannya, membuat Linda kembali teringat akan mimpi buruknya semalam. Di dalam mimpinya itu, dia melihat calon suaminya terbujur kaku tak berdaya. Bahkan, saat Linda memanggil-manggil namanya, kedua mata Bram tetap tertutup rapat.
Semua orang yang mengerubungi tubuh Bram yang terbujur kaku dengan wajah memucat itu, menunjukkan ekspresi yang sulit untuk diterjemahkan. Linda memejamkan mata, lantas memalingkan wajah menatap lurus ke depan, berusaha mengenyahkan mimpi yang telah membuatnya bergidik.
It’s just a dream, Linda, just relax. Mimpi buruk muncul, karena kamu lupa baca doa mau tidur, gumamnya mencoba menghibur diri.
“Kenapa, Sasha? Kamu sakit?” Bram meraba dahi Linda ketika melihat wajah calon istrinya itu tegang. Dia mengamati Linda lekat dengan tatapan khawatir.
Linda menggeleng lemah. “Nggak, kok, Mas. Aku baru ingat, kalau hari ini batas akhir pengumpulan berkas pencairan tunjangan sertifikasi,” jawab Linda gugup.
“Sudah lengkap semua berkasnya? Atau ada yang masih kurang?”
“Ada beberapa yang belum dilegalisir, Mas. Takut nggak keburu.” Linda kembali terlihat resah.
“Sabar, Sayang. Sebentar lagi sampai, kok.” Bram tersenyum, mencoba menenangkan Linda. “Coba tarik napas perlahan, biar nggak terlalu panik.”
Linda mengangguk, lalu menuruti saran Bram. Dia berulang kali menarik napas dan mengembuskannya perlahan.
“Bagaimana, sudah lebih tenang?”
“Sudah, Mas. Makasih, ya. Maaf kalau aku selalu merepotkan.”
“Nggak repot, kok, Sasha, Sayang. Kalau kamu minta digendong dari kost-an ke sekolah, baru Mas merasa repot,” canda Bram membuat Linda tertawa. Bram kembali mengalihkan perhatiannya ke jalan.
“Justru, hal-hal seperti ini merupakan latihan sebelum kita diresmikan di depan penghulu nanti. Latihan untuk saling bisa memahami dan menerima kekurangan masing-masing. Mas selalu merasa bahagia, tiap kali membayangkan sepulang kerja, ada seorang istri cantik yang akan menyambut Mas dengan hangat.”
Mendengar penuturan Bram, Linda menjadi salah tingkah. Dia melirik dengan malu-malu ke arah pria itu yang sedang fokus mengemudi. Hari ini, Bram terlihat lebih tampan dibalik setelan kerjanya yang rapi. Linda menghabiskan sisa perjalanan dengan memandangi lekat wajah tunangannya, hingga tak menyadari kalau mobil itu sudah berhenti di pelataran parkir sekolah.
“Kok malah bengong? Nanti telat beneran, lho,” ujar Bram dengan nada ramah, menyadarkan Linda. Refleks, dia langsung menyambar tasnya sebelum keluar dari mobil.
“Sasha.”
Linda menoleh, seraya tersipu saat melihat Bram melengkungkan bibirnya membentuk sebuah senyuman yang sangat manis. Tanpa ragu, Linda mendekatkan wajahnya pada Bram.
“I love you, Sha.” Bram mengecup lembut puncak kepala Linda yang tertutup jilbab putih.
“Kok, nangis?” tanya Bram heran melihat kedua mata Linda basah.
Linda menyeka air matanya. “Bukan, ini mah kelilipan debu.”
Bram tertawa mendengar tunangannya berusaha mengelak.
Linda pamitan, lalu melambai ke arah Bram yang membalasnya dengan mengangkat tangan.
“Be careful, Mas,” ucap Linda sebelum Bram berlalu.
Dia menghela napas panjang kemudian berjalan dengan langkah lebar menuju ruang guru. Linda melirik jam di pergelangan tangannya. Masih ada waktu sekitar tiga puluh menit untuk melengkapi berkas persyaratan pencairan, sebelum bel tanda pelajaran dimulai berbunyi.
Saat tiba di mejanya, Linda sama sekali tak melirik Aulia yang duduk tepat di belakang meja dan menyapanya.
“Bunda, maaf. Soal momen duet elo itu ...,” ujar Aulia pelan dan ragu, sebab melihat wajah Linda yang cemberut.
“Udah, deh. Maaf elo itu percuma!” potong Linda ketus.
“Bunda, lagi pula apa salahnya, sih elo kabulkan permintaan dia? Elo, tuh, nggak kayak Bram yang selalu berpikiran positif. Di benak elo itu, isinya jelek melulu, terutama kalau yang menyangkut Bima. Sampai-sampai di hati elo itu yang ada hanya kebencian. Padahal, siapa tahu, Bima itu nggak seperti yang elo pikirkan.”
Linda hanya melirik Aulia sebentar, kemudian berlalu menuju ruang TU dengan membawa beberapa berkas yang belum dilegalisir.
Aulia mengejar dan terus memanggilnya. Linda kemudian berbalik dan menatap Aulia dengan mata memerah.
“Gimana gue bisa berpikir positif, kalau itu artis selalu minta gue menemani dia? Guru yang masih single itu, di sini banyak, termasuk elo sama Fetty! Kenapa dia nggak minta elo atau Fetty aja? Yang kayak gitu, apa namanya kalau bukan ada udang dibalik batu?”
Aulia menggigit bibir. “Maafin sahabat elo yang pikirannya polos ini, Bunda. Gue nggak mikir sejauh itu. Gue kira dia ....”
“Soal memaafkan itu gampang. Gue butuh bukti kalau elo mulai detik ini dan selamanya berhenti nge-ship gue sama artis itu.”
“Yaelah, Bunda, elo sama sahabat sendiri aja nggak percaya amat.” Aulia masih tak menyerah untuk membujuk Linda agar mau menerima permintaan maaf darinya.