Linda yang beberapa kali pingsan di sekolah, membutuhkan waktu sekitar tiga puluh menit untuk mencapai rumah sakit. Ketika tiba di tujuan, Aulia dan Fetty membantu memapah Linda yang sudah tak kuat berjalan cepat. Mereka akhirnya menemukan Ervin, kakak tertua Bram yang sudah menunggu di lobi rumah sakit. Wajah pria itu sama kacaunya dengan Linda. Dia merangkul Linda, saat tangis wanita itu pecah.
“Mas Ervin, mana Mas Bram? Dia baik-baik saja, ‘kan?” tanya Linda bergetar di sela-sela isak tangisnya.
“Kamu yang sabar, ya. Ikhlaskan Mas-mu.” Ervin mengusap pelan punggung Linda. Isakannya malah semakin kencang.
Ervin memeluk Linda, mencoba menenangkan calon adik iparnya itu. Namun, pelukan Ervin malam membuat Linda histeris.
“Mas Bram masih ada, ‘kan? Masih bisa diselamatkan, ‘kan?”
Ervin menggeleng lemah. “Sudah nggak ada, Sha. Dia meninggal di tempat. Kamu yang ikhlas, ya. Mas percaya kamu bisa melalui semua ini. Kamu wanita yang tangguh.”
Tubuh Linda seketika saja lemas. Kakinya pun seolah lemah untuk menopang badannya. Dia melorot ke lantai. Dia menggigil, mengingat kembali mimpi buruknya yang kini malah menjadi kenyataan pahit yang harus dihadapi. Entah, dia sanggup atau tidak melewati semua ini.
“Ya Allah, Mas Bram. Kenapa Mas tega ninggalin aku sendirian?”
Dinda dan Fetty yang mendampingi Linda saling pandang. Keduanya tak mampu membendung air mata, yang kini sudah membanjiri pipi masing-masing.
“Mas, aku ingin lihat Mas Bram,” pinta Linda saat Ervin, Aulia, dan Fetty membantunya berdiri.
“Kamu yakin mau lihat?” tanya Ervin, khawatir Linda semakin terpuruk, ketika nanti melihat kondisi jasad Bram.
Linda membalas dengan anggukan. Separah apa pun keadaan Bram, ini terakhir kalinya dia bisa melihat tunangannya itu. Dan dia tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
“Tapi, janji, ya. Kamu harus kuat,” ujar Ervin pada akhirnya. Kakak tertua Bram itu terlihat tak tega.
Linda mengangguk mantap, sembari berusaha menguatkan perasaannya. Dia kemudian mengikuti langkah Ervin, menuju kamar jenazah. Sementara, Aulia dan Fetty mengapit Linda dan menggandeng sahabat mereka yang langkah kakinya masih terseok-seok.
Beberapa orang sudah berkumpul di depan kamar jenazah, yaitu, keluarga korban yang tewas dalam kecelakaan. Keluarga Bram pun terlihat berkerumun di sana.
Bu Ratih tampak sedang terisak di salah satu sudut ruangan. Linda langsung menghambur ke pelukan wanita paruh baya yang seharusnya beberapa bulan lagi resmi menjadi mertuanya itu.
“Ibu ....” tangis Linda kembali pecah.
“Sasha ....” Bu Ratih mengusap-usap lembut punggung Linda. Wanita itu sepertinya sudah terlihat mengikhlaskan kepergian putranya.
Berbeda dengan Linda yang masih tak terima kalau Bram sudah tiada. Isakannya terdengar semakin kencang dalam pelukan ibunya Bram, membuat siapa saja yang mendengar tangisan itu ikut merasa pilu.
“Bu, Mas Bram pasti sembuh, ‘kan?”
“Mas-mu sudah pergi. Ikhlasin, dia, ya, Sha.”