Dua hari pasca kepergian Bram, Linda masih menyiapkan sarapan untuk pria itu di pagi hari. Secangkir cappuchino, minuman favorit Bram dan sepotong roti selai cokelat atau kadang diolesi mentega tabur meises warna-warni. Linda seolah-olah masih tak bisa menerima, jika seseorang yang selalu menyantap sarapan bikinannya itu telah tiada.
Kebiasaan menyiapkan sarapan seperti ini, sudah Linda jalani selama bertahun-tahun. Saat Bram menjemputnya pagi-pagi, Linda biasanya meletakkan secangkir cappuchino panas beserta roti selai itu di meja kecil yang berada depan rumah kost-nya.
Walau pun hampir setiap pagi mendapatkan menu sarapan sederhana seperti itu, tetapi Bram selalu terlihat sangat menikmati menyantap sarapan buatan Linda, sembari menungguinya selesai berdandan.
“Mas, aku rindu.” Linda duduk di kursi depan dan mulai menyantap roti selai buatannya, kemudian menyesap cappuchino-nya, menggantikan posisi Bram.
Pandangannya seperti berkabut, karena kristal bening mulai menggenang. Linda menyeka bulir-bulir bening itu, sebelum benar-benar jatuh dan membanjiri pipinya. Sungguh sakit rasanya menahan rindu yang teramat sangat. Lebih menyedihkan lagi, menghadapi kenyataan, bahwa Linda tak lagi bisa berjumpa dengan sosok yang mampu mengobati kerinduannya itu. Memang sungguh berat, melanjutkan hidup tanpa seseorang yang sangat berarti menemaninya di sisi. Seseorang yang sudah bertahun-tahun menempati relung hatinya, tiba-tiba saja direnggut begitu saja. Separuh jiwa seolah ikut tercerabut, menyisakan ruang hampa dalam hati.
Linda mengeluarkan ponsel dari dalam saku blazernya dan mulai memesan ojek online melalui aplikasi. Dia menghela napas berat. Semua tak lagi sama. Dia harus belajar menerima kenyataan bahwa tak akan ada lagi sosok Bram yang selalu tersenyum manis dan memandangnya lekat dengan tatapan teduhnya, sembari membukakan pintu mobil untuk Linda.
“Permisi, Bu. Dari Portalbiz!” Teriakan sopir ojek pesanannya yang baru saja tiba, membuyarkan lamunan Linda. Dia melangkah gontai menghampiri ojeknya.
Linda menelan saliva, sambil memakai helmnya, dia menoleh kembali ke arah rumah kost-nya. Bingung harus melanjutkan hidup yang seperti apa tanpa kehadiran Bram di sampingnya. Apakah harus menjalani hidup seperti biasanya, dan menerima kenyataan pahit yang telah terjadi, atau memilih tenggelam dalam kesedihan. Terus-menerus mengenang seseorang yang sudah bertahun-tahun menemani perjalanan hidupnya.
Ketika menjejakkan kaki di halaman sekolah, Linda berusaha menekan dan mengesampingkan rasa sedih dalam dirinya. Murid-murid dia tak perlu tahu kalau sebenarnya duka kehilangan masih mengendap di hatinya. Tujuan mereka berangkat dari rumah ke sekolah, adalah untuk menimba ilmu. Sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab Linda untuk memberikan pelayanan yang terbaik serta memenuhi hak para muridnya untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat.
Bibirnya berusaha menyunggingkan senyuman, ketika satu-persatu anak didiknya mendekat dan mencium takzim punggung tangan Linda. Tak berapa lama, ekor mata Linda menangkap sosok Boby menghampiri sembari tersenyum.
“Assalamu alaikum, Bunda,” sapanya sambil mencium tangan Linda.
Linda mengangguk serta membalas salam muridnya itu seraya tersenyum lembut padanya.
“Boby ke kelas dulu, ya, Bunda,” pamit Boby sebelum berlalu menuju kelasnya.
Sepeninggal Linda, kedua matanya menangkap sosok lain tengah memperhatikannya dari area pelataran parkir.
Si tukang kain.
Buru-buru Linda beristigfar. Tidak seharusnya, dia menyematkan julukan itu padanya. Apalagi, pria itu tak beranjak sedetik pun dari mulai prosesi pemakaman Bram, sampai menunggunya hingga selesai, dan mengantar dia pulang.
Mas yakin, sebenarnya Bima itu hatinya baik.
Kata-kata Bram kembali terngiang. Walau pun sebenarnya ingin melanjutkan langkah kakinya dari sana, dia malah tak bisa beranjak sama sekali. Beberapa murid terus berdatangan dan mencium tangannya, hingga saat Bima mendekat padanya. Yang Linda lakukan hanyalah memberikan senyuman ala kadarnya pada pria itu. Sebuah senyuman yang dipaksakan.
“Good morning, Teacher,” sapa pria itu seraya tersenyum ramah.
Linda hanya membalas dengan anggukan kecil. Perhatiannya masih tertuju pada murid-murid yang masih menunggu giliran menyalaminya.
“Sama siapa ke sini? Sendirian?” tanya Bima kemudian.
Linda kembali mengangguk. Rasanya malas untuk menjawab selain lewat gestur saja.
“Senang rasanya melihatmu kembali mengajar. Setidaknya, dengan berada di sekolah, bisa sedikit mengalihkan kesedihan dari Bram.”
Air mata Linda nyaris tumpah mendengar pria itu menyebut nama tunangannya, sehingga dia memutuskan untuk tak menoleh ke arah Bima. Untung saja, sudah tak ada lagi murid yang menyalaminya. Bergegas Linda menyeret langkahnya meninggalkan Bima. Namun, tiba-tiba saja pria itu menarik tangannya, membuat Linda tersentak.
“Maaf, perkataanku tadi, tidak ada maksud sama sekali membuatmu sedih dan mengingat lagi tentang Bram.”
“Iya.” Merasa enggan untuk berbicara dengannya panjang lebar, Linda membalas dengan singkat saja.
“Can we be friend?” tanya Bima dengan cara disenandungkan menirukan lagu berjudul Friends.
Dahi Linda berkerut. Lebih baik mendengarkan lagu-lagu Justin Bieber seharian satu album, daripada dengerin suara dia yang bikin emosi jiwa, gerutunya sambil mendelik ke arah pria itu yang di matanya memancarkan sinar penuh harap, Linda akan bersedia memenuhi permintaannya.
“Tidak ada alasan bagi saya untuk menjadikan Anda teman. Apalagi, setelah saya tahu, Anda punya maksud tersembunyi di balik itu.”
Bima tersenyum, lalu menggeleng. “Jangan salah paham dulu, Bu guru. Aku temannya Bram, nggak ada salahnya, ‘kan, kalau kita berteman karena dia? Kamu tahu, Bram itu cinta damai. Dia akan senang kalau melihat kita akur.”
Linda menghela napas. Dia sebenarnya sudah malas menanggapi.
“Jangan kira karena kemarin-kemarin Anda membantu saya, kita bisa jadi teman. Sebab, yang disebut teman itu, tak akan tega menikung tunangan temannya sendiri. Permisi.”
Linda menepiskan tangan Bima. Dia mulai melangkah, meninggalkan pria itu yang masih tertegun dengan ucapan Linda. Pandangannya masih terpaku menatap punggung Linda yang semakin menjauh.
***
Berita mengenai meninggalnya tunangan Linda telah tersebar seantero SMA Cerdas. Murid-murid kelas SPASI menjadi lebih pendiam ketika mendapati mendung yang masih menggelayuti wajah wali kelas mereka. Suasana kelas menjadi lebih hening dari biasanya. Kegaduhan yang biasanya mereka ciptakan seperti lenyap begitu saja. Murid-murid kelas SPASI seolah ikut merasakan kesedihan Linda dan seperti sedang berusaha tidak menyinggung hati atau membuat marah wali kelas mereka.
Hari ini, Linda bahkan menyuruh murid-muridnya, hal yang pada hari-hari biasanya anti dia lakukan, yaitu menyalin materi dari buku paket. Para muridnya menurut saja, tak ada yang berani protes atas model CTL atau dipelesetkan menjadi Catat Terus, Lanjutkan yang diterapkan oleh Linda kali ini.
Melihat beberapa muridnya memainkan jari-jemari mereka, pertanda merasa pegal dan menangkap ekspresi mereka yang kelihatan jenuh , Linda jadi tak tega. Dia menghela napas. Walau bagaimana pun, Linda harus bisa bersikap profesional, dengan tidak membawa-bawa urusan di rumah atau perkara perasaannya ke sekolah. Apalagi menunjukkannya di depan anak didik. Akhirnya, dia menyuruh mereka untuk berhenti menulis.
“Kalian masih ingat, ‘kan, lagu Awaken yang didengarkan sewaktu di lab. bahasa waktu itu?”
“Ingat, Bunda,” jawab mereka serempak.
“Okay, good job. Siapa yang masih ingat dengan nama tenses dari beberapa lirik lagu yang kata-katanya Ibu hilangkan sebagian?”
Boby sang ketua kelas mengacungkan tangannya, lantas menjawab pertanyaan Linda. “Namanya simple past tense, Bunda.”
“Benar sekali, Boby. Now, Ibu akan mengingatkan kembali mengenai pola kalimat dan fungsi tenses yang satu ini.”
Linda mengeluarkan laptop dari dalam tasnya beserta mini led projector, kemudian mulai menyalakan keduanya. Setelah led projector itu tersambung dengan laptop, murid-murid kelas SPASI memusatkan perhatian pada tayangan slide mengenai tenses tersebut, lalu mulai mencatat hal-hal yang penting di buku tulis masing-masing.
“Nah, sekarang kalian paham mengenai simple past tense ini?”
“Paham, Bunda.” Mereka kembali menjawab dengan kompak.
“Okay, now let’s play the game!” seru Linda, membuat wajah murid-muridnya ceria dan terlihat kembali bersemangat.
Sebelum memulai permainan, Linda menyuruh ketiga puluh muridnya untuk dibagi ke dalam enam kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari lima anggota. Linda lalu menuliskan beberapa contoh kalimat simple past tense di papan tulis.
He studied English in the classroom yesterday.