Setelah larut dalam duka selama tiga hari, pada hari keempat, Linda ditemani Aulia menghadap Ibu Dedeh, untuk meminta izin pulang. Untunglah, kepala SMA Cerdas itu tidak menyulitkannya dalam mendapatkan izin. Bu Dedeh mungkin sangat mengerti kalau Linda butuh waktu untuk membuat dirinya stabil kembali.
“Elo beneran, nggak apa-apa berangkat sendirian?” tanya Aulia setelah dirinya dan Linda keluar dari ruang kepala sekolah.
“Nggak apa-apa, Aul. Dua jam juga gue nyampe ke Ciwidey. Doain aja.”
“Iya, gue selalu menyelipkan doa buat elo. Hati-hati, ya, Bunda. Pulang dari sana, kondisi elo harus lebih baik. Kembali ceria seperti sedia kala.”
Linda menghela napas berat sembari tersenyum tipis. Bayang wajah Bram berkelebatan. Sulit rasanya membayangkan bahwa hidupnya akan baik-baik saja setelah kehilangan pria yang sangat dicintainya itu. Entah sampai kapan keadaan hatinya akan kembali membaik seperti dulu lagi, biarlah waktu yang akan menjawab semuanya.
Sesudah cipika cipiki dengan sang sahabat, Linda melangkah meninggalkan SMA Cerdas menuju ke rumah kost-nya untuk mengambil koper dan barang bawaan lainnya. Usai mengunci pintu kost-nya, Linda duduk termenung di kursi kecil depan kost-an, sambil menunggu grab yang dipesannya tiba.
Mas Bram, apakah Mas baik-baik saja di sana? Linda mengerjapkan mata.
Wajah tampan Bram lengkap dengan senyuman manis dan tatapan teduhnya membayang di pelupuk matanya, sementara kata-kata Bima yang berusaha membuatnya tenang sekaligus menyemangatinya saat dalam keadaan kacau, terngiang-ngiang di telinganya.
Bunyi klakson menyadarkan Linda dari lamunan. Mobil yang dipesannya sudah berada tepat di depan gerbang kost-an. Linda bangkit dari tempat duduknya sambil membawa barang bawaan. Sopir mobil itu membantunya menaruh barang bawaan di bagasi.
“Pak, sebelum ke Ciwidey, antarkan saya ke TPU, dulu, ya,” pinta Linda setelah duduk di kursi penumpang.
“Baik, Bu.”
“Nanti saya lebihin ongkosnya.”
Sopir berusia paruh baya itu mengangguk, lantas menyalakan mesin mobil.
Perlahan-lahan, mobil itu meluncur meninggalkan kost-an Linda. Guru muda itu masih sempat melirik ke arah rumah kontrakan. Dia menghela napas panjang. Biasanya, Bram yang mengantar Linda. Beberapa jam setelah tiba di rumah Abah dan Ambu, dia akan pamit pulang ke Bandung, meninggalkan Linda yang menginap di sana, kalau kebetulan weekend atau libur sekolah tiba.
Setibanya di pusara Bram, Linda tak kuasa lagi membendung air matanya. Bulir bening mulai terjun bebas membanjiri pipinya. Jemari lentik Linda, menelusuri nama yang tertera di batu nisan itu. Kenangan demi kenangan bersama sosok almarhum kembali bermunculan di benaknya. Datang silih berganti bagaikan tayangan slide film, membuat isaknya berganti menjadi ledakan tangis.
“Mas Bram orang yang sangat baik. Semoga Allah membalas kebaikanmu dengan menghadiahkan surga di alam sana. Aku pulang dulu, ya, Mas. Semoga kelak kita bisa berjumpa di alam keabadian.”
Linda mengusap air matanya, kemudian memanjatkan doa untuk Bram. Kedua tangannya menabur bunga di atas makam Bram.
Tak lama kemudian, dia beranjak dari sana. Linda menyeret langkahnya untuk melanjutkan perjalanan, menemui orang-orang terkasih yang sudah menantikannya di rumah.
Dua jam kemudian, saat Linda memasuki kawasan tempat dia dibesarkan, hawa dingin terasa menyentuh kulitnya. Linda memejamkan mata. Tidak terhitung helaan napas yang keluar dari mulutnya sepanjang perjalanan dari Bandung, kota kelahiran almarhum tunangannya.
Begitu turun dari mobil, Linda langsung disambut oleh Ambu, wanita terkasihnya, yang tersenyum bahagia sambil menciuminya. Saat pintu rumah terbuka, Dara juga menyambutnya dengan senyum dan peluk yang sama dengan Ambu. Damai dan juga hangat rasanya berada di tengah-tengah keluarga tercinta.
“Kamu udah makan? Makan dulu, ya. Ambu udah masak gurame asam manis. Dijamin, nggak kalah rasanya sama di restoran-restoran. Habis makan, istirahat. Ambu kangen banget, Linda.”
Linda menggeleng. Kebiasaan Ambu di mana pun saat melihat anaknya baru kembali, pastilah akan menyuruh makan. Kedua mata Linda berkaca-kaca. Terbayang kembali sosok Bram yang biasanya menyantap gurame asam manis lezat buatan Ambu berdua dengannya hingga tandas.
“Abah ke mana, Ambu?” Linda mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru rumah karena sejak dia menjejakkan kaki di sini, tak juga ditemuinya sosok sang Ayah tercinta.
“Biasa Abah mah, lagi ada pertemuan di Passeban, ngebahas festival seni. Ditambah juga ngobrolin ayam-ayamnya itu pastinya.”