Setelah lima hari berada di Ciwidey, Linda terlihat lebih segar. Pagi ini, dia tengah merapikan tempat tidur, lalu mulai membuka jendela kamarnya. Hawa dingin khas Ciwidey langsung menerpa wajahnya. Linda menghirup udara pedesaan yang baginya terasa sejuk serta lebih menyehatkan ketimbang udara di kota yang sudah mulai banyak tercemar polusi. Kedua matanya dimanjakan oleh indahnya pemandangan sawah yang menghijau dan pegunungan yang tampak berdiri anggun dari kejauhan.
“Mas Bram, seandainya Mas masih ada, dan kita jadi menikah, aku tak akan sendirian menikmati keelokan alam ciptaan-Nya ini.”
Linda duduk di atas kursi kayu yang diletakkan di dekat jendela kamar sembari terus mengedarkan pandangan ke luar jendela. Linda menghela napas berat. Lamunannya kembali mengembara ke masa-masa indah yang dilaluinya bersama Bram. Namun, suara ketukan di pintu mengembalikan kesadarannya. Dia beranjak dari tempat duduknya, lantas membuka pintu kamar.
“Linda, ada tamu, tuh, nyariin kamu.” Ambu muncul dari balik pintu.
“Siapa, Ambu? Aulia, bukan?” Alis Linda berkerut.
“Kalau Aulia temen kuliah plus rekan guru kamu mah, Ambu hapal atuh. Katanya, sih, dia itu salah satu teman kamu juga dari Bandung.”
“Perempuan atau laki-laki, Ambu?”
“Sudah sana, kamu lihat aja langsung. Ambu susah jelasinnya. Yang jelas, Ambu merasa sering lihat wajah dia, tapi nggak tahu di mana.” Dahi Ambu berkerut, seperti sedang berusaha mengingat-ingat. “Cepat, temui. Dia lagi ngobrol sama Abah di ruang tamu.”
Setelah mengenakan jilbab instan warna biru navy, Linda segera mengekori Ambu untuk menuntaskan rasa penasarannya kepada tamu yang mencarinya itu. Terdengar suara tawa Abah dan seseorang yang membuat Linda langsung bisa menebak saat indera pendengarannya menangkap nada bicara tamu itu. Linda langsung menghentikan langkah kakinya.
Dari mana si tukang kain itu tahu alamat rumah gue? Ngapain, coba, pakai nyusul-nyusul segala? Ngaku-ngaku jadi teman pula, gerutu Linda sambil masih berdiri di lorong yang membatasi antara ruang tamu dan ruang keluarga, menyimak obrolan antara Abahnya dan Bima yang sesekali diselingi tawa dari keduanya.
Sementara itu, Ambu Lilih tengah sibuk di dapur menyiapkan suguhan. Dara yang baru saja keluar dari kamarnya, langsung melongo, ketika mengetahui sosok yang sedang duduk sambil bercakap-cakap dengan Abah itu. Dia merasa tak percaya dengan penglihatannya, hingga berkali-kali mengucek matanya.
“Masya Allah, i ..., itu, ‘kan, Bima Arisetya, yang nyanyi Tentang Kamu itu. Mimpi apa semalam, rumah kita kedatangan artis terkenal?” Dara membalikkan badan, lantas kembali ke kamarnya. Dia sama sekali tak menghiraukan keberadaan Linda yang sejak tadi berdiri di lorong dan bengong menyaksikan tingkah sang adik.
“Lho, malah bengong di sini, Linda. Sana, temui teman kamu itu, kasihan, ‘kan, sudah datang jauh-jauh. Tamu itu wajib dihormati, lho. Cepat ke sana, sekalian bawa, nih.” Ambu yang baru saja muncul dari dapur, mengangsurkan nampan berisi dua gelas bandrek campur susu serta beberapa buah stoples berukuran sedang berisi aneka camilan khas Ciwidey pada putrinya.
Linda menatap nampan itu dengan enggan. Sungguh malas rasanya menemui Bima. Kalau disuruh memilih, dia lebih baik bercengkerama dengan ayam-ayam Abah di kebun belakang dari pada harus mengobrol dengan si tukang kain itu.
“Linda, ini bawa ke ruang tamu,” perintah Ambu membuat lamunan Linda yang sedang berkelana seketika saja buyar.
“Biar Dara aja yang bawa ke sana, Ambu,” pinta Dara.
Kemunculan adiknya yang sudah berdandan rapi, membuat Linda bisa bernapas lega. Dia memandang wajah sang adik sembari tersenyum, seraya berucap terima kasih, karena Dara telah menyelamatkannya. Linda tertawa geli melihat buku dan bollpoint di tangan Dara. Pasti adiknya itu akan minta tanda tangan dari sang artis, tebaknya.
“Ya, udah, sana. Ambu mau lanjut bikin nasi liwet.” Ambu Lilih menyerahkan nampan ke tangan Dara yang langsung disambut gembira dan wajah semringah dari gadis itu.
“Kamu masih mau berdiri di situ? Nggak pegel? Memangnya kamu punya utang sama dia? Sampai-sampai kamu enggan menemuinya? Dia itu debt collector, ya?” Ambu memberondong Linda dengan sejumlah pertanyaan sembari memandangi lekat wajah putrinya dengan tatapan menyelidik, berusaha menyelami sesuatu yang tengah berkecamuk di hati Linda.
Linda menggeleng sambil masih mencuri dengar percakapan antara Abah dan Bima.
“Dari pada kamu nggak ada kerjaan, mendingan bantuin Ambu bikin nasi liwet. Ngintip orang itu, bikin mata bengkak, lho."
Linda tersenyum senang sambil menggandeng lengan Ambu. Mereka berdua berjalan menuju dapur. Lebih baik berkutat di dapur, dari pada harus berhadapan dengan tukang kain meteran itu, pikirnya.
“Teh, kok nggak bilang-bilang punya calon suami dari kalangan artis?” Dara yang baru saja muncul dari ruang tamu mengagetkan Linda juga Ambu.
Sesekali, matanya berbinar sambil tersenyum melihat buku di tangannya. Linda yakin, artis itu pasti sudah membubuhkan tanda tangan di buku milik adiknya itu.
“Teh, ditanya malah bengong?”
“Siapa yang bilang dia calon suami Teteh? Sembarangan aja kalau ngomong! Nanti Teteh sumpal mulutnya yang bicara ngawur itu pakai sekilo cabai rawit, biar dower sekalian!” gerutu Linda sembari mendelik ke arah Dara.
“Dia yang bilang pas tadi kenalan sama Dara.”