“Assalaamu’alaikum,” sapa seorang wanita di depan pintu rumah Ayana.
Ayana yang saat itu sedang menyapu rumahnya, segera membukakan pintu.
“Haai…, apa khabar, Ay?” sapa tamu itu.
Ayana termangu di tempat, matanya tidak mungkin salah lihat. Tapi wanita yang sedang ada di depannya sekarang adalah Sonya, sahabatnya ketika di kampus dan di kantor juga. Refleks dia langsung memeluk tamunya itu.
“Sonya, kapan datang? Bukannya lo tugas di Medan? Lalu kabar suami sama anak lo gimana?” tanyanya riang.
Agar bisa selalu bersama dengan suaminya, Sonya meminta dari kantornya untuk ditugaskan di cabang Sumatera Utara.
“Alhamdulillah semuanya baik, Ay. Baru aja menginjakkan kaki di tanah Jakarta ini, langsung teringat sama lo deh! Jadilah gue mampir dulu kemari sebelum ke kantor,” jawab Sonya.
“Enggak takut diomelin sama Pak Harry?”
“Ah, biarin aja! Udah biasa! Yang penting gimana keadaan lo sekarang? Maaf kalau gue baru sempat datang ya. Gue turut berduka cita,” ucap Sonya penuh nada simpati dan kembali memeluk Ayana.
Ayana menerima pelukan itu, Sonya menepuk pelan punggungnya. Awalnya dia tidak ingin menangis di depan tamunya, namun air matanya sudah menggantung di kedua pelupuk matanya kembali.
“Lo ngomong apa sih? Lo udah inget sama gue aja gue udah bersyukur. Masuk yuk! Sori, ya, kalau masih berantakan, soalnya baru beberes. Lagian enggak biasa juga kedatangan tamu jam delapan pagi.”
Sonya tersenyum tipis, wajahnya terlihat bersimpati. "Oh, gue bawa oleh-oleh dari Medan nih. Bika Ambon. Khusus buat lo doang gue bawanya. Coba demi apa, oleh-olehnya dari Medan tapi namanya Bika Ambon?"
Ayana terkekeh pelan mendengar gurauan Sonya. Dia pun menerima oleh-oleh itu. "Trims, Son."
♥♥♥
Malamnya, setelah Andi dan Afi sudah tertidur lelap, Ayana menguatkan dirinya lagi untuk duduk di depan komputer dan mengatur segala pengeluaran untuk bulan berikutnya. Tapi baru dia mulai berpikir tentang bayi yang ada dalam kandungannya, dia kembali didera oleh rasa stres yang mendalam.
Ayana kembali menangis, dia pun bertanya-tanya kembali kepada Tuhan, kenapa keluarganya yang harus diberi cobaan seperti ini. Badru lelaki yang baik, tidak pernah selingkuh, bertanggung jawab pada keluarganya, jujur, dermawan, baik hati, banyak yang menyukainya dan umurnya baru saja 34 tahun. Kenapa umurnya sangat pendek?
Kemudian, dia teringat pada perbincangannya dengan Sonya tadi pagi.
“Lo yang sabar, ya, namanya juga cobaan hidup. Berpikir positif aja, mungkin lo akan mendapatkan yang jauh lebih baik lagi,” hiburnya.
Ayana menggelengkan kepalanya, “Gue enggak mau yang lain. Gue maunya cuma Badru. Lagipula bayi dalam kandungan ini harus tahu siapa ayah kandungnya!”
Sonya terkejut, "Lo hamil lagi?” tanyanya sambil melirik kearah Afi yang sedang asyik nonton televisi sambil minum susu dari botol dotnya. Afi masih dua tahun dan dia akan memiliki seorang adik lagi. Memikirkannya saja membuat Sonya ikutan pusing. Sebagai seorang ibu, jelas dia memahami repotnya mengurus seorang anak.
Ayana menganggukkan kepalanya, “Kalau sudah begini, gue pusing banget memikirkan biaya hidup yang harus dikeluarkan. Buat makan sehari-hari, biaya listrik, telepon dan air, belum iuran Andi sebulan, biaya susu Andi dan Afi, belum kalau mereka minta jalan-jalan, beli mainan, belum cicilan lainnya yang belum lunas. Asli gue mau mati aja!”
"Ayana! Jangan ngomong ngaco kayak gitu!" Spontan Sonya membentaknya.
Ayana terkejut, namun dia hanya diam dan terus menangis. Sonya memandang dengan iba. Dia mengelus punggung Ami dan memeluknya.
“Lo harus sabar! Coba lo lihat hal baik yang sekarang udah lo miliki. Lo masih punya rumah, ada mobil, punya tabungan. Dan yang terpenting, lo punya tiga orang anak yang hidupnya bergantung sama lo.”
“Memang, tapi alangkah lebih baik lagi kalau gue enggak dibebani sama anak!” ocehnya masih putus asa.