Syukur dan Kasih
Untuk kekasihku, Mas Han, teman diskusi terbaik, kritikus, pembaca pertama yang dengan penuh cinta mencetak draftawal novel ini, lalu menyelianya dengan teliti. Mas Han, yang selama penulisan novel ini dengan penuh senyum lebih sering mengambil alih tugas domestik, menyediakan sarapan nasi goreng lezat, dan membuatkanku kopi Baliem. Mas Han, yang mencintaiku dengan suatu cara. Terima kasih untuk hadiah anggrek raksasa Papua (Grammatophyllum papuanum) yang kau berikan untuk mengobarkan semangatku dalam menyelesaikan lima bab terakhir novel ini. Terima kasih ini takkan pernah cukup untuk segala yang kau beri, dan novel ini takkan pernah selesai tanpamu.
Untuk para malaikat kecilku, Nahwa Rousyan Khudi, Nabtaghi Nobel Khudi, dan Falsafa Asrori Khudi. Maafkan Bunda yang lebih sering serius di depan laptop selama lima bulan, karena harus belajar disiplin menulis sampai akhirnya menemukan ritme yang pas. Terima kasih atas pengertian kalian, terutama untuk Nahwa yang sudah menjadi kritikus tulisan Bunda, seperti Ayah. Satu kalimatmu yang begitu menginspirasi; “Saya tahu kenapa Bunda memilih jadi penulis, karena suara Bunda terlalu jelek untuk jadi penyanyi.”
Untuk Fathul Qorib, adik yang sedikit bengal, tapi Om Pahlawan bagi Nahwa, Nobel, Safa yang membawakan makanan atau film baru sepulang kerja. Di tengah kesibukan sebagai wartawan Cenderawasih Pos, masih menyempatkan diri untuk membaca setiap bab dan memberi masukan sebagai kritikus yang jeli, meski kecenderungan sastramu berbeda denganku. Terima kasih juga untuk setiap usulan pergi jalan-jalan agar imajinasi tidak buntu
Untuk editorku, Rahmatika Dian Amalia, yang dengan sabar menyelia naskah ini sehingga menemukan takdir terbaiknya.
Untuk Bapak Eko Endarmoko, yang mengingatkan bahwa di ujung yang paling ujung, tanggung jawab penulis adalah pada dirinya sendiri, bukan pada orang lain. Segala yang Bapak kenalkan kepada saya adalah dunia tersendiri, dan saya harus bersiap kapan saja, agar mewujud menjadi “gelas kosong” untuk menampung banyak hal tanpa tertumpah.
Untuk Mas Tasaro GK, guru menulis terbaik yang kumiliki. Hentakan semangat, kritik, juga doa-doa darimu telah menjadikanku setegar cyclops.
Untuk Mas Fatih Zam, yang dengan rajin mengingatkan perihal deadline. Semangat tersendiri, sekaligus tantangan yang harus aku taklukkan.
Untuk Kang Dredha Gora Hadiwijaya, yang memberi penghargaan buatku dengan cara tersendiri: membuat lukisan berjudul Fajar dari Arah Timur, yang terinspirasi oleh calon novel.
Untuk semua teman Antitesa-NBA (Noura Books Academy) Quranic Writing, Darmini, Mbak Puspita, Fifa, Arra, Nessa, Ari Mami, Sulfiza, Yansa, dan Kiki. Kalian adalah mozaik penting bagi proses penulisan novel ini. Tak dapat aku berucap lebih banyak, karena kuyakin hati kita saling memahami.
Untuk Noura Books, Mas Reno Azwir, Mas Cecep Romli, dan Pak Deden Ridwan, yang dengan kesabaran tingkat tinggi memberi waktu dan semangat untuk menulis novel ini.
Untuk Ade Yamin, kawan baik yang mengenalkanku pada konsep “Satu Tungku Tiga Batu”. Terima kasih sudah memberikan banyak waktu untuk diskusi juga memberikan banyak data, termasuk hasil penelitian tentang Muslim Dani di Kampung Walesi, Jayawijaya yang menjadi salah satu gizi terbaik bagi tulisan ini. Jika Tuhan izinkan, akan kutulis Walesi dan hamparan padang rumputnya di dalam novel tersendiri.
Untuk Bapak Ponto Yelipele, Bapak Adnan Yelipele, dan Bapak Ismail Asso, atas cerita yang dirangkum dari wawasan yang luas dan mendalam tentang Papua, juga membantu memahamkan saya atas kondisi sosio kultural masyarakat adat, khususnya di Walesi, Jayawijaya
Untuk Bapak Suparto Iribaram, narasumber utama tentang Patipi dan seluruh adat yang dikandungnya. Begitu banyak yang bisa saya jadikan kenangan tentang Patipi dan Satu Tungku Tiga Batu: Satu Adat Tiga Agama, seperti perigi yang takkan habis airnya sepanjang waktu. Terima kasih untuk diskusi-diskusi yang hangat, dan waktu untuk menjawab SMS-SMS saya ketika menanyakan renik pelik adat, bahasa, dan semua tentang Patipi yang saya perlukan selama penulisan novel ini. Terima kasih juga telah menerjemahkan beberapa baris sajak—jika itu bisa disebut sajak—dari bahasa Indonesia ke bahasa Patipi, yang asing tapi romantis.