Suatu senja di Patipi, Semenanjung Onim, Papua, Juni 1998. “Atar pukul Inan sampai roboh, Bapa Werfra!” teriak Ramzi dengan urat-urat leher menegang dan sorot mata berkilat-kilat. Ia berusaha agar suaranya tidak kalah dengan dengung orang-orang yang berkerumun, juga desis angin di hutan pala.
Atar mendapati sorot mata Ramzi lebih banyak mengisyaratkan rasa bersalah daripada amarah, entah sebab apa. Ramzi yang bertubuh gempal meronta dalam pegangan dua lelaki tinggi besar, seperti juga Atar diperlakukan sama.
Dari caranya menegakkan wajah, Ramzi sedikit menampakkan kemenangan. Kerumunan orang semakin bertambah. Lelaki, perempuan, dewasa, belia, semua ingin tahu kejadiannya. Segala yang menyangkut Atar selalu menarik bagi orang Patipi, terutama bagi para gadisnya.
Ramzi merasa, pasti Atar ingin menjadi debu saja. Perkelahian ini jelas akan menjadi aib yang harus ia tanggung. Ramzi seolah lupa bahwa masyarakat Patipi hidup dalam jejaring kepercayaan yang sangat kuat tentang hukum sebab akibat. Karma, tulah, ataupun keberuntungan adalah persoalan yang akan ditanggung masing-masing orang secara pribadi, dan datangnya adalah niscaya bagi mereka. Hampir dapat dikatakan, kenyataan yang terjadi di Patipi dibentuk oleh kekuatan spiritual bersama. Patipi menjadi dunia kecil tempat Tuhan memberi jawaban paling jujur atas takdir masyarakat adatnya.
Baik Atar maupun Ramzi, adalah bagian dari kosmologi Patipi yang kelak pasti terbaca nasibnya. Misteri akan tersingkap, bisa jadi dengan cara yang paling manis.
Sejenak Atar melirik Werfra Hindom. Lelaki tua itu selalu bisa bersikap tenang. Usianya yang mencapai tujuh puluh tahun, juga perjalanan hidup telah menjadikannya bijak. Werfra Hindom, seorang Kapitan, pimpinan adat tertinggi di Kampung Patipi. Perawakan tuanya yang ramping, lembut, tapi kuat seolah menyimpan seluruh pengetahuan yang tertulis pada Kitab Seribu Satu Persoalan, kitab adat masyarakat Patipi yang tebalnya ratusan halaman.
“Saya cuma membela diri, Bapa. Mereka serang saya dulu,” sanggah Atar. Para gadis terpesona melihat bulir-bulir keringat meleleh di pelipis Atar, menegaskan garis-garis wajahnya yang kukuh tapi lembut. Untuk mencirikan Atar, gadis-gadis Patipi biasa berkelakar dengan sebuah syair berbahasa Arab dari kitab Barzanji: Aliϔiyu al-anϔi mimiyu al-fami nuniyu al-hajib. Hidungnya seperti alif, bibirnya seperti mim, dan alisnya seperti nun.
Tentu saja kelakar itu bersifat sangat rahasia, terlindungi dengan aman di antara jejaring perbincangan para gadis. Jika sampai tetua-tetua tahu soal itu, pasti mereka murka, menganggap gadis-gadis Patipi tak tahu adat dan bisa kena tulah. Sebab, sifat-sifat yang dilekatkan kepada Atar itu sejatinya adalah sifat-sifat fisik yang mulia Nabi Muhammad Saw., menurut ulama penggubah Kitab Barzanji itu. Tapi jika mau jujur, garis wajah Atar memang mewakili gambaran pada kalimat puitis itu. Hanya saja ia keriting, meski kulitnya terang mewarisi warna kulit Suku Onim.
Bagaimanapun, gadis-gadis Patipi sepakat, daya tarik paling memikat pada Atar adalah sepasang mata jelinya yang tajam, yang sekali waktu bisa seteduh embun. Sangat jarang gadis Patipi berani menatap sepasang mata itu, sebab mereka takut takkan bisa melupakannya, takut jatuh cinta kepada sepasang mata itu. Mereka tahu, jatuh cinta kepada Atar adalah sia-sia. Pemuda itu sudah jadi milik gadis paling tersohor di Patipi, gadis berdarah campuran Papua-Parsi, yang gigih memegang adat-adat orang Patipi: Nueva Guinea Garamatan.
Tapi soal mata dan jatuh cinta, sejenak hanyalah hal kecil. Atar dan Ramzi masih saling berhadapan. Lima meter dari mereka, beberapa lelaki dewasa beriring menjauh menggotong Inan. Tangan kukuh Atar beberapa saat lalu mendarat telak di rahang Inan, membuatnya langsung roboh ke tanah. Darah segar mengucur dari hidung dan mulut Inan, menunjukkan kondisi pemuda itu kritis. Orang-orang gugup dan buru-buru melarikannya ke Puskesmas di kampung lain.
Kau takkan menduga, seberapa pun mereka berusaha cepat, takkan bisa secepat yang diinginkan. Kendaraan yang dapat mereka andalkan hanyalah sampan dayung tradisional.
Atar dan Ramzi hanya memandangi iring-iringan itu dengan raut wajah yang sukar ditebak. Sesal, sedih, marah, atau khawatir? Ramzi masih mengenang kehebatan Inan menghitung biji pala ketika panen musim timur bulan April lalu. Sedangkan Atar teringat cara Inan duduk bersila di masjid, dengan punggung melengkung dan bibir setengah terbuka.
“Kenapa kau dan Inan serang Atar, Ramzi?” tanya Werfra.
“Atar ganggu Nueva, Bapa Werfra. Saya dan Inan cuma mau tolong Nueva.”
“Kau jangan bikin cerita bohong, Ramzi. Alam raya bisa potong kau punya lidah suatu saat nanti!” sahut Atar gugup bercampur marah.
Orang-orang mengalihkan pandangan ke arah yang sejak tadi diabaikan, tempat Nueva berdiri beku. Wajahnya yang putih gading pucat pasi. Hatinya leleh, membuat sepasang bola matanya, yang legam dan berbulu lentik, keruh. Padahal mata itu selalu jernih, berpendaran seperti tsurayya. Una Bahamba, sahabat karib Nueva merapatkan tubuhnya kepada Nueva, merangkul pundaknya agar tetap berdiri tegar di tengah kegaduhan. Tiba-tiba seorang pemuda menyeruak dari kerumunan. “Kurang ajar kau, Atar!” teriaknya. “Berani sekali kau ganggu saya punya adik.”
Itu Safri, kakak kandung Nueva. Beberapa lelaki dewasa segera memeganginya meski nyaris kewalahan. Safri dan Atar adalah dua pemuda yang sangat diperhitungkan di Kampung Patipi. Bukan karena suka membuat onar, tapi karena sama-sama memiliki tubuh terlatih. Mereka adalah murid terbaik perguruan karate di Sekolah Kabupaten. Atar dan Safri berteman baik, sejak kecil hingga lulus SMA seminggu yang lalu. Tak pernah ada perselisihan, apalagi salah paham di antara mereka. Namun sore ini berbeda. Semua orang begitu mudah tersulut amarah.
“Saya punya keluarga percaya dengan kau,” lanjut Safri dengan nada semakin tinggi. “Kami serahkan hidup Nueva supaya kau jaga dengan baik. Bukan untuk kau nistakan!”
“Kau jangan percaya Ramzi. Dia bohong!” “Kau diam sudah!” bentak Safri.
“Saya tidak bohong,” teriak Ramzi. “Saya dan Inan dengar Nueva menjerit. Kita kaget. Waktu berlari ke sini, kita lihat Atar peluk Nueva.”
Safri, Atar, dan Nueva merah menyala wajahnya meski dengan alasan berbeda. Kau akan tahu Safri marah di luar batas, hanya dengan melihat sorot matanya yang nanar dan napasnya yang tersengal. Tenaganya jadi berlipat-lipat. Sementara Atar dan Nueva lain lagi nasibnya. Kau tahu? Orang yang menanggung malu besar cenderung diam, tekur ke tanah, dan hilang pengharapan. Atar dan Nueva tengah mengalaminya. Nueva bahkan mulai menangis. Otot-otot kakinya lunglai, tak sanggup melangkah.
Melihat itu, Atar sontak merasa punya tanggung jawab menyelamatkan Nueva dari akibat dipermalukan secara semena-mena. Atar tahu, kehidupannya sebagai seorang calon Kapitan selalu diawasi, tak bisa berlaku sembarangan. Seluruh dedaunan, rumput-rumput, bersama angin seolah selalu mengabarkan kepada masyarakat Patipi, Atar sedang di mana dan melakukan apa. Tapi Nueva tak pernah layak dipermalukan dalam perkara ini.
“Saya tidak ganggu Nueva. Kau jangan asal tuduh! Tadi Nueva kaget lihat ular dekat dia punya kaki. Kau tidak mau dengar saya punya bicara e! Kau langsung serang saya.”
“Ah, kau banyak alasan!” sentak Ramzi. “Bikin apa sore-sore berdua di pinggir kampung?”
“Bukan kau punya urusan, Ramzi!” Atar balik menyentak.
“Dengar!” teriak Ramzi, menatap nanar orang-orang yang berkerumun. “Atar tidak punya alasan buat membela diri. Saya sumpah lihat Atar ganggu Nueva. Dia peluk Nueva di dekat pohon pala.”
“Kasih lepas saya!” ronta Safri. “Saya mau hajar orang munafik itu.”
“Diamlah, Safri!” kata Werfra yang sedari tadi mengamati baik-baik Atar dan Ramzi. Ia berusaha maklum atas kemarahan Safri yang begitu besar, sampai-sampai melupakan pertemanannya dengan Atar yang dibangun atas dasar kepercayaan. Bagi orang Patipi, persoalan kehormatan keluarga tak pernah bisa ditawar-tawar. Apalagi Ramzi dan Inan tidak dikenal sebagai pembual. Sehingga sulit menemukan alasan untuk mengingkari tuduhan mereka terhadap Atar.
“Jangan larang saya, Bapa. Saya akan kasih Atar pelajaran, biar dia ingat dia punya marga.”
“Jangan bawa-bawa marga, Safri!” Atar murka.
“Kenapa? Kau takut mencoreng nama besar Marga