Cinta, Kesehatan, dan Munajat Emha Ainun Nadjib

Noura Publishing
Chapter #3

Sebuah Pilihan

Sayup, seperti gaung terjauh mamoga, gong adat berukuran kecil yang ditabuh dari jarak tiga kilometer, suara Werfra Hindom terngiang di telinga Atar. 

“Kalau kau sudah paham dengan kau punya tujuan hidup, biarpun kau mengalami banyak kesulitan, sebenarnya kau sudah menang dengan kehidupan.”

Atar merenungi petuah itu, tangannya pun gemetar di tengah pekat. Ia berlari sembunyi-sembunyi dengan napas terputus-putus menuju pantai. Ia harus mendayung rai. Sampan kecil itu hanya muat untuk satu atau dua orang, dan biasanya digunakan untuk melaut dengan jarak tempuh sekitar 1,5 kilometer dari daratan. Atar dan semua masyarakat adat Patipi tak punya pilihan selain mendayungrai untuk menghubungkannya dengan tujuan yang lebih jauh. Malam ini, Atar harus mendayung sampai Kampung Tetar. Dari sana, ia baru akan menemukan angkutan reot menuju kota.

Cahaya bulan remang-remang. Dingin begitu menusuk. Atar sudah mendayung selama beberapa waktu, hingga melewati hutan pala yang tak jauh dari kampungnya. Ia melihat bivak mungil seperti menempel di lereng hutan yang tanahnya agak miring. Biasanya asap tipis selalu membubung, menandai bahwa bivak itu berpenghuni. Tapi malam ini tak ada asap. Hanya lentera kaca tergantung gelisah di salah satu sudutnya, dan Atar melihatnya seperti kunang-kunang malang terperangkap di dalam toples. Ingin sekali Atar singgah ke bivak itu, namun tak sampai hati. Ia lalu berjanji, suatu saat akan bercerita tentang bivak itu kepada orang yang bersedia menyimaknya.

Atar mendayung lebih kencang, namun perahu kecilnya seolah berpusar saja di satu tempat. Ia sangat menyesal karena kepergiannya terpaksa dengan cara seperti ini. Belum tuntas pembicaraannya dengan Nueva di tepi hutan pala, tapi kericuhan itu keburu terjadi.

Atar menyadari perasaan sayangnya kepada Nueva begitu besar. Dan ia tidak pernah ingin gadis itu menanggung sesuatu yang tak semestinya, termasuk sebuah penantian tak pasti. Sejak akhir masa SMA, Atar kembali mengingat cerita-cerita Mr. Steve, tentang petualangan ke tempat-tempat asing. Sejak itu Atar merasakan impian mulai tumbuh di pikirannya, seperti tunas yang terus menjadi sulur, menjalari benaknya. Atar ingin pergi meninggalkan Patipi, belajar ke dunia yang lebih luas. Ia ingin mencari dan menemukan sesuatu, yang belum pernah ia dapati di Patipi ataupun di Sekolah Kabupaten.

Namun kelak ia tetap ingin kembali, untuk sebuah tanggung jawab menggantikan Werfra Hindom sebagai kapitan. Soal pengganti imam masjid, biar Umar Bauw yang memikirkannya. Mungkin sepupu Atar dari Marga Bauw bisa menjadi pengganti. Jelasnya, tanggung jawab Atar kelak adalah menggantikan Werfra Hindom. Namun sebelum semua itu, ia ingin pergi. Mungkin selama sepuluh, lima, atau bahkan hanya dua atau tiga tahun. Entah, Atar belum dapat memastikannya.

Jika kepergiannya untuk waktu lama, Atar tak ingin Nueva kehilangan waktu sekadar untuk menunggunya. Sebab, akan menjadi persoalan bahkan aib bagi gadis Patipi, jika belum juga menikah di usia menjelang dewasa. Atar tidak ingin menjadi penyebab kerumitan bagi hidup Nueva, dan sore tadi Atar sudah berniat menyampaikan hal itu. Ia yakin Nueva pasti memahaminya. Tapi sekarang segalanya menjadi jauh lebih rumit.

Biarlah Tuhan menuntun saya di dalam takdir Atar terus mendayung, hingga akhirnya tiba di Kampung Tetar. Sewaktu menambat rai, lima meter darinya tampak seseorang bercaping anyaman bambu yang menyampirkan berlapis-lapis kain di pundaknya, sehingga mirip petapa. Orang bercaping itu sangat terburu-buru mendorong rai-nya ke tengah laut, lalu mendayung dengan cepat. Tapi ia masih sempat mengangkat tangannya dengan telapak terbuka kepada Atar, sebuah sapaan selamat bertemu sekaligus selamat berpisah, tanpa suara.

Atar membalasnya dengan sikap yang sama. Tapi ia terlalu lelah untuk berpikir siapa orang bercaping, yang mendayung rai seperti kesetanan, itu. Bahkan, Atar telah melupakannya begitu saja ketika kakinya melangkah di atas pasir yang dingin. Atar tak menduga bahwa ia harus melampaui setidaknya lima tahun untuk mengerti siapa orang bercaping itu, kelak, ketika Atar sudah memiliki keberanian.

Atar berniat mengambil jalan paling tersembunyi dengan menerobos hutan pala di pinggir Kampung Tetar. Ia yakin, malam ini akan berlalu sangat panjang, hingga seolah tidak ada waktu yang disebut pagi.

“Atar.”

Tiba-tiba terdengar suara berat memanggilnya, meski belum tampak jelas siapa sosok di kegelapan pinggir hutan itu. Pikiran Atar digeluti dua kemungkinan. Pertama, mungkin saja itu seseorang yang ditugaskan para tetua untuk mengejarnya. Kedua, mungkin juga itu makhluk gaib yang masih dipercaya orang Patipi. Kemungkinan kedua membuat Atar sejenak terkesiap. Ia mengingat satu kata mengerikan yang jarang diucapkan masyarakat adat Patipi karena takut terkena sumpah, kaborbor.

Sebenarnya Atar ingin menyangkal ihwal makhluk gaib itu, dan menganggapnya tak lebih dari mitologi, seperti yang ia pelajari di sekolah. Tapi Atar tak bisa ingkar bahwa masyarakat adat Patipi mengalami pertemuan dengan kegaiban, bukan sekadar memercayainya. Kaborbor adalah salah satunya. Sekali bertemu dengan makhluk itu, maka ia harus rela menanggalkan nyawa. Kaborbor adalah makhluk gaib paling sakti, yang bisa bertukar rupa sekehendak hati, untuk menaklukkan mangsanya. Kaborbor hadir tanpa membawa tanda. Bahkan orang yang bertemu kaborbor hanya merasa bertemu kawan, saudara, anak, suami, atau istri.

Barangkali besok saya ditemukan di pantai ini dengan muka membiru, tubuh menghitam, dan sudah mati.

Begitulah ciri fisik seseorang yang terkena sumpahkaborbor.

“Atar,” panggil sosok itu lagi. Tapi Atar masih diam. “Kau kira saya kaborbor kah?”

Darah Atar nyaris beku mendengar pertanyaan itu. “Bapa ini siapa kah?” tanya Atar lirih, hampir-hampir suaranya tak sampai.

“Jangan pernah terlihat takut di depan musuh, Atar.” “Saya tidak bermusuhan dengan Bapa.”

“Kau belum tahu saya. Tempat gelap harus kau kenali dengan baik, supaya tahu di hadapan kau ini musuh atau bukan.”

“Maaf, Bapa. Saya harus pergi.”

“Gelap begini, kau mau jalan ke mana?”

“Saya punya tujuan sendiri. Tidak bisa cerita dengan Bapa karena saya belum tahu Bapa ini musuh atau kawan.” Suara itu bertepuk tangan pelan, “Kau sangat mudah belajar, Atar. Sudah benar Werfra Hindom pilih kau.”

“Bapa kenal dengan Bapa Werfra kah?”

“Bicara nanti saja. Sekarang ikut dengan Bapa.”

Atar mulai bisa beradaptasi dengan tepian hutan pala itu. Samar-samar ia melihat siluet di depannya berjalan cepat menuju perkampungan. Rumah yang mereka tuju tak beda jauh dengan rumahnya sendiri, rumah panggung yang bagian belakangnya berdiri di atas air, disangga tiang-tiang kukuh, sementara bagian depannya di daratan. Seperti itulah rumah adat di kawasan Semenanjung Onim. “Ini Bapa punya rumah. Masuk sudah,” tutur suara itu, yang sosoknya semakin jelas terlihat di bawah temaram lampu minyak tanah. Ia lelaki tua. Usianya tak jauh terpaut dari Werfra Hindom.

“Bapa Baham, saya minta maaf, tidak tahu Bapa jemput saya di pantai.” Atar menduga kalau lelaki tua di hadapannya bernama Baham Hindom. Dulu sekali ia bertemu Baham, ketika lelaki itu belum terlalu tua, dan dirinya sendiri masih kecil. Ketika itu Werfra mengadakan upacara adat untuk syukuran panen pala. Baham Hindom, adik kandung Werfra Hindom, hadir di upacara itu dan menyalami Atar. Sekali itu saja mereka bertemu.

“Kau makan ubi itu, minum tehnya, baru kau istirahat.” “Ah, tidak, Bapa. Saya tidak bisa lama di sini.”

“Kenapa kah? Sudah malam begini, banyak bahaya di

luar. Kau tidur sudah.”

“Kalau saya tidur sekarang, perjalanan akan tertunda, Bapa.”

“Ah, kau masih terlalu muda buat perjalanan macam begitu. Bisa tersesat nanti. Kalau kau pergi lagi, Bapa tidak mau jemput. Biar kau habis dimakan kaborbor, Bapa tidak mau tahu.”

“Tidak usah jemput, Bapa. Saya akan pergi jauh.” “Bikin apa kau di tempat jauh. Hidup tidak enak di sana.” “Sama saja. Saya di kampung harus menanggung

penderitaan sumpah adat. Lebih baik penderitaan itu saya rasakan di tempat jauh, biar tidak dilihat orang-orang yang saya kenal. Mereka tidak perlu tahu saya menderita akibat sumpah itu.”

Baham Hindom menatap Atar teliti. Perasaannya getir, menyaksikan takdir yang bicara tegas kepada pemuda naif di hadapannya.

“Werfra sudah sampaikan pesan dengan Bapa,” ucap Baham kalem.

Atar berusaha menyimak dengan santun, menepiskan semua rusuh yang bergolak di hatinya. Termasuk soal siapa yang diutus Werfra untuk menyampaikan pesan kepada Baham dalam waktu secepat ini.

“Werfra minta supaya Bapa kasih kau perlindungan,” lanjutnya. “Sumpah itu bisa gagal kalau kau ada pelindung, Atar. Bapa sudah janji dengan Werfra buat kasih kau perlindungan.”

Baham memandang ornamen salib Yesus di dinding rumah panggungnya, sekilas memanjat doa dalam diamnya. Ia tidak pernah main-main dengan janji itu.

Soal perlindungan, Atar berpikir barangkali seseorang yang punya ilmu setara dukun-dukun kerajaan bisa menangkal sumpah adat itu. Ia tahu Baham adalah dupiad, kelompok elit adat yang punya kekuasaan atas tanah ulayat, tanah yang menjadi hak sukunya untuk mengelola dan mengambil manfaatnya. Seorang dupiad biasanya memiliki kekayaan berupa benda-benda adat, juga paham sejarah raja-raja dan masyarakat di Semenanjung Onim. Baham sangat dihormati di Kampung Tetar karena gelar dupiad itu.

Atar ingat Werfra pernah bilang bahwa dupiad adalah seseorang yang memiliki tiga sifat utama: pandai, kaya, dan dermawan. Werfra memberi tahunya, jika kelak bertemu seseorang dengan tiga sifat itu menonjol dalam dirinya maka Atar harus memberi usulan kepada Raja Patipi agar menobatkan orang itu sebagai dupiad.

Werfra juga memberi tahunya bahwa seorang dupiad memiliki pengaruh besar terhadap kapitan. Bahkan dupiad juga punya hak suara untuk melengserkan seorang raja dari tahtanya, meskipun rajalah yang menobatkan seseorang menjadi dupiad di acara-acara pesta adat, seperti pesta pernikahan. Pada keramaian seperti itulah raja mengumumkan pengangkatan seseorang menjadi dupiad.

Dengan semua ciri itu, barangkali Baham juga memiliki kekuatan atau kesaktian untuk menampik sumpah adat.

“Maaf, Bapa. Saya tidak bisa menerima perlindungan dari Bapa.”

“Ah, kau ini keras kepala. Mau pilih jadi pengecut?” “Biar saya jadi pengecut, Bapa. Saya benar-benar tidak sanggup bertemu orang-orang di kampung.”

“Kalau kau tidak bersalah, tidak perlu takut. Macam tikus saja.”

Lihat selengkapnya