Setelah kejadian di lorong, aku mulai berani untuk memulai menghubungi bu Tamara. Dia salah satu orang yang aktif di social media. Sehingga tak jarang aku memberikan komentar pada postingan yang dia tulis. Dia pun selalu menanggapiku. Tapi aku tidak boleh terlena, karena bisa saja dia hanya sekedar menghargaiku saja. Aku sempat berpikir, apakah dia memiliki rasa yang sama?
Kadang aku suka mengatakan hal - hal berbau gombal. Kadang ditanggapi, kadang diabaikan. Dari situlah aku mulai sadar diri, bahwa yang aku lakukan mulai melampaui batas. Dia orang yang peka, wajar jika dia merasa aku memberi perhatian lebih. Sampai akhirnya dia berkata "Mas, kamu sama seperti Pak Hasan, sama - sama memberi perhatian." Aku bingung mau membalas apa, apakah ini jalan untuk maju, atau peringatan untuk mundur. Tapi karena aku sudah terlanjur maju, aku tidak boleh mundur. "Iya nih, aku mau dong jadi secret admirer Ibu, sama seperti Pak Hasan". Setelah balasan itu, Bu Tamara tidak membalas pesanku.
"Matilah aku Put", aku tunjukan isi pesanku pada Puput. "Ya sudah Mas, mau bagaimana lagi, ini resiko yang kamu ambil," Puput coba untuk menenangkanku. "Rasanya menggantung, aku serba salah," aku tertunduk lesu. "Kita tunggu aja ketika bu Tamara datang, ada perbedaan engga sama kamu? Kalau ada, ya terpaksa pertemanan kalian akan berubah," kata Puput.
Esok harinya bu Tamara datang ke kantor. Biasanya dia selalu datang ke mejaku terlebih dulu, tetapi hari ini tidak. Dia datang ke meja Puput. Akhirnya kami tidak saling tegur sapa. Hanya saling bertatap mata.