Ketika aku duduk, wajahku sangat cemas. Aku tidak menyangka bahwa aku akan duduk di sebelah mba Desi. Tiba - tiba dia memberikan handuk kecil padaku. Aku sempat bingung, kenapa handukku ada di tangannya.
"Ini Mas handuknya. Aku salut sama dirimu Mas, meskipun kemarin bu Sri sempat mengecewakanmu, tapi tidak ada dendam di matamu. Kamu menjadi orang yang paling bertanggung jawab di sini, padahal tidak ada yang meminta, tapi kamu berinisiatif untuk menunggu di kantor dan membawakan barang bu Sri."
"Maaf ya Mba kalau aku berkeringat, memang tidak apa - apa jika aku duduk di sini? Dan, kok bisa handukku ada di Mba Desi. Bukannya aku menitipkannya pada bu Sari?"
"Dia melihat kamu sangat sibuk, jadi dia menitipkan handukmu padaku karena mengira kamu pasti duduk di sebelahku. Tidak apa - apa Mas, wajar kamu berkeringat, kamu orang yang paling sibuk dan paling lelah sebelum bus berangkat."
Aku hanya tertunduk tersipu malu karena mba Desi ternyata memperhatikanku. Biasanya ketika acara konsolidasi, aku duduk bersama bu Sari, jadi keperluan kecil seperti handuk kecil dan lainnya kutitipkan pada bu Sari. Mungkin bu Sari melihat kedekatanku akhir - akhir ini dengan mba Desi, dan menyangka aku akan duduk di sebelah mba Desi, tetapi dugaannya benar, sekarang aku duduk di sebelah mba Desi.
"Ini Mas, minum dulu." sambil memberikan sebotol air putih padaku.
"Terima kasih Mba. Maaf ya jadi merepotkan."
"Hanya memberikan air kok, dan aku tidak repot. Sepertinya aku tidak salah memilih teman untuk jadi partner. Oh iya, sebelum berangkat, tadi kami melakukan selfie, karena tadi kamu belum ada, tidak afdol rasanya jika tidak selfie lagi."
Aku pun mengangguk tanda setuju. Aku sedikit grogi karena aku tidak terlalu suka difoto. Apa lagi saat ini mba Desi ada disebelahku, dan dia yang berinisiatif untuk foto denganku. Kami tidak foto selfie berdua, tetapi berlima karena kami duduk di kursi belakang, dengan kapasitas untuk 5 orang.
Setelah selfie, mba Desi mengirim foto itu di grup kantor. Aku tidak mungkin melarangnya. Tetapi setelah itu ada kejadian menarik terjadi padaku. Tiba - tiba bu Tamara mengirim pesan lewat bbm padaku.
"Pantas saja tidak mengabariku, kamu betah ya duduk di sebelah mba Desi. Padahal dari tadi aku mencari kamu lho."
"Maaf ya Bu, karena aku orang terakhir yang masuk bus jadi hanya kursi sebelah mba Desi yang tersisa."
"Alasan saja kamu Mas, kan bisa kamu minta di sebelah Toni. Memang dasar kamunya saja yang genit dan mencari kesempatan."
"Engga kok Bu, awalnya aku akan duduk dengan bu Sari, tetapi tempatku ditempati oleh bu Sri."
"Sudahlah Mas, dari awal kan kamu memang ingin duduk di sebelah mba Desi."
"Tadinya memang seperti itu karena Ibu tidak mau duduk denganku."
"Kenapa aku yang dijadikan alasan. Sudahlah Mas, aku tidak ingin merusak hariku. Selamat menikmati perjalanan!!!" Dan dia mengirimi emoticon orang yang sedang marah besar.
Aku pun menyudahi bbm dengan bu Tamara karena kondisinya seperti itu. Jadi aku biarkan dia sampai emosinya mereda.
Akupun melanjutkan obrolan dengan mba Desi. Selama ini hanya obrolan formal tentang pekerjaan yang manjadi obrolan kami sehari - hari. Tetapi hari itu dia menjelaskan tentang kehidupan pribadinya, tentang suami dan anak - anaknya. Dari situ aku sadar, aku sudah salah paham tentangnya. Dia bersikap baik padaku karena murni dari hatinya yang sangat baik kepada setiap orang. Aku merasa sangat malu karena sempat mengira mba Desi menyukaiku. Dan aku bisa mendekatinya seperti kedekatanku dengan bu Tamara. Ada tembok tinggi yang tidak bisa aku gapai dan tidak mungkin aku gapai. Setidaknya aku mendapat pelajaran dalam bus ini, bahwa mba Desi adalah orang yang setia pada keluarganya dan aku tidak mengusiknya. Setidaknya bisa berteman dekat dengannya sudah sangat cukup bagiku.
Ketika obrolan sedang seru, dari jauh aku melihat bu Tamara sedang membagikan snackbox. Terlihat matanya sangat tajam menatapku. Wajahnya sangat menyeramkan, tetapi hanya padaku saja. Dia terlihat baik pada orang lain. Karena hp lowbat, jadi aku tidak bisa bbm bu Tamara selama perjalanan. Tapi aku berniat untuk menjelaskan secara langsung ketika sudah sampai di sana.
Setelah perjalanan beberapa jam, kami pun sampai tempat tujuan. Aku pun mencoba untuk mendekati bu Tamara. Tetapi dia sudah terlanjur marah dan ngambek padaku, sehingga dia lebih memilih untuk sedikit menjauh dariku. Teman - teman agent langsung berlari ke pinggir pantai dan bermain ombak dan bu Tamara pun ikut bergabung dengan mereka. Tetapi aku dan mba Desi sibuk mengurus untuk acara tukar kado yang rencananya akan dilakukan setelah acara makan malam.
Setelah selesai mempersiapkan acara, aku memilih duduk di pinggir pantai dan melihat teman - teman lain bermain ombak. Aku tidak banyak membawa baju salin, sehingga aku memilih untuk tidak bermain ombak. Melihatku sedikit terdiam, mba Desi datang dan menghampiriku.
"Kenapa tidak ikut main ombak Mas?"
"Aku hanya membawa baju sedikit Mba."
"Bohong, wajahmu terlihat murung. Ada yang dipikirkan? Harusnya kamu bersenang - senang di sini."
"Aku hanya sedikit lelah Mba. Mba Desi tidak ingin mencoba bermain ombak? Aku tidak akan jahil kok."
"Tidak Mas, di sini saja menemani kamu."
"Terima kasih ya Mba." Kataku sambil tersenyum.
Aku sedikit terhibur olehnya. Jujur, aku sedikit sedih karena tidak bisa menghabiskan waktu dengan bu Tamara. Mba Desi punya trauma masa kecil tentang ombak. Dirinya hampir terseret ombak yang cukup besar. Jadi dia takut untuk sekedar bermain di pantai dengan ombak yang kecil. Pantas saja dia orang yang pertama tidak setuju jika perpisahan dengan pak John dilakukan di pantai. Akhirnya kami pun melihat sunset bersama.
Sebelum memulai acara, kami diwajibkan untuk makan malam terlebih dahulu. Aku melihat bu Tamara duduk sendirian, aku tidak akan menyia - nyiakan kesempatan untuk meminta maaf dan menghabiskan waktu bersama.
"Boleh aku temani, aku menantikan kesempatan ini lho. Akhirnya bisa makan bersama bu Tamara."
"Memang kamu masih butuh aku? Dari tadi saja kamu sibuk dengan mba Desi."
"Kan tadi aku sempat ingin mendekati Ibu, tetapi Ibu lebih memilih bermain ombak dengan teman - teman lain."