CINTA MENEMBUS BATAS

Pina Ope Nope
Chapter #2

Bagian Satu - Cinta dan Kehidupan di Timor

Timor - Kupang 1811

 

KETAMAKAN DAN KEBENCIAN AKAN mendorong manusia untuk memperbanyak musuh, tetapi cinta sejati akan mengubah seorang manusia menjadi Pahlawan. Ketika ketamakan semakin merusak jiwa manusia, maka cinta sejati menjadi roh yang kuat untuk merangkul jiwa-jiwa yang rindu akan cinta dan kedamaian. Bahkan bila memang kedamaian itu harus diperjuangkan di antara derap kuda para ksatria.

       Di Timor, negeri yang gersang dan garang ini, cinta anak manusia tidak tumbuh tanpa ditempa dengan kesabaran, kekuatan, dan air mata. Itulah yang dirasakan Funan, wanita yang hatinya dipenuhi oleh kerinduan akan cinta dan kedamaian.

       Pada suatu senja yang panjang di lereng bukit kota Kupang, sepasang mata menatap langit senja dengan penuh harapan dan kerinduan. Dalam diamnya, Funan putri bangsawan Amabi Oefeto memandang horizon yang diwarnai gemerlap matahari terbenam. Rambut hitamnya yang berombak lembut tergerai dihempaskan oleh angin petang. Di balik keindahan wajahnya yang mempesona, tersembunyi luka yang dalam, luka yang tak pernah terkikis oleh waktu.

       Di sisi lain, dalam keriuhan perang, suara dentuman meriam, terdengar dari medan perang yang jauh. Peluru-peluru berterbangan menikam udara. Pedang-pedang bersinar di bawah kilatan cahaya matahari dan bulan, serta lemparan lembing yang bergantian. Di antara semua itu, cinta anak manusia tumbuh subur seperti bunga yang langka di padang pasir.

       Funan dan penduduk Kupang tahu betul suasana yang membelenggu pulau ini. Orang Belanda dengan segala ambisinya berusaha menguasai tanah airnya, mencoba menancapkan cengkeraman mereka di tanah Timor yang subur. Namun para pemuda Timor berusaha menghalau semua ambisi jahat ini dengan senjata, pedang dan tombak. Sedangkan, di dalam dada Funan, hanya ada satu yang berkuasa : cinta yang ia simpan rapat-rapat untuk Alfred Whitcome, suaminya yang kini telah tiada.

       Whitcome, seorang sersan Belanda yang mempesona, telah meninggalkan Funan dalam kesendiriaan dan kehampaan. Perang yang dicetuskan kaisar Prancis Napoleon Bonaparte telah menjalar sampai ke laut Batavia dan merengut Whitcome dari kehidupan Funan untuk selama-lamanya.

       Kini, sementara serdadu-serdadu Belanda bertempur demi kaisar Prancis sedang pria-pria Timor Amanuban berjuang untuk kebebasan tanah air mereka, maka Funan berjuang dengan perasaannya sendiri, mencari kedamaian dalam ingatan akan cinta yang telah mati.

       Funan percaya bahwa cinta sejati, seperti api yang tak pernah padam. Membakar bahkan di tengah badai paling ganas sekalipun. Ia percaya bahwa suatu hari, mungkin, mereka akan bersatu kembali di dunia yang lebih baik, di mana kebencian tidak lagi memisahkan manusia, dan ketamakan tidak lagi menghancurkan kedamaian.

       Namun, perjalanan menuju kesana tidak akan pernah mudah. Ia harus melangkah dengan hati-hati, melewati rintangan dan cobaan yang menguji kesetiaan. Di pulau Timor yang keras ini, cinta harus dipertahankan dengan segala cara - dengan kesabaran yang besar, dengan kekuatan yang menopang tekad dan air mata yang membasuh luka-luka yang dalam.

Tempat itu disebut Kota Kupang

       Di sini, di ujung barat pulau Timor, di tengah tantangan yang menghadang, cerita cinta terus terukir dalam sejarah. Kota ini seperti benteng yang kokoh, menjulang di antara lautan badai dan padang rumput yang menghijau. Bagi anak-anak manusia yang tinggal di kota ini, hidup adalah tantangan yang tak pernah lelah memburu mereka. Mereka harus mempertahankan hidup bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk cinta yang mereka anut.

       Meski dihadapkan pada kerasnya kehidupan, semangat orang-orang Timor tidak pernah pudar. Mereka terus menyuarakan syair-syair cinta dengan penuh kerinduan, menguburkan setiap bait dalam napas panjang kerja keras mereka. Syair-syair itu mereka sebut natoni, yang terdengar merdu di lereng-lereng bukit Timor.

       Di bawah teduh rumah lopo[1], para lelaki bersenandung dalam syair natoni, memuji kecantikan wanita-wanita yang menjadi pujaan hati mereka. Mereka menggambarkan wanita pujaannya sebagai tuna amasat, bunga yang indah dan harum, atau leno fuan alekot, jeruk yang manis dan menawan. Setiap kata dalam syair natoni menghidupkan keindahan wanita-wanita, mencerminkan cinta dan kekaguman yang mendalam.

       Tetapi di balik keindahan dan keromantisan syair-syair itu, ada ketegangan yang tak terucapkan. Siapa yang akan terus mengucapkan syair natoni tentang cinta, apabila para pria yang gagah perkasa pergi berperang?. Mereka yang terluka dan lelah kembali dari pertempuran dengan harapan api cinta di dalam hati mereka tetap terjaga serta kehidupan membawa mereka kembali kepada kekasih hati.

Keperkasaan dan keteguhan hati

       Di seluruh pulau Timor yang keras ini, segala tantangan yang menghadang kehidupan dan cinta terus berputar. Sebuah perjuangan untuk hidup dan mencintai, di mana setiap langkah diukur dengan keberanian dan tekad yang tak tergoyahkan.

       Di tanah yang keras ini, pria-pria Timor terkenal sebagai ksatria yang siap mempertaruhkan segalanya demi kebebasan. Mereka tidak hanya melawan musuh fisik, tetapi juga melawan bayang-bayang perbudakan dan dominasi bangsa Eropa yang selalu menghantui. Setiap lembing yang diasah, pedang yang dipersiapkan, dan senjata-senjata api yang diperiksa dengan seksama, membangkitkan kegelisahan di hati gadis-gadis muda dimana cinta mereka selalu menanti di ambang pintu lopo.

       Hati mereka terasa berat, resah dan gelisah ketika pria-pria Timor pergi ke medan perang, siap untuk menghadapi bahaya dan menghadapai segala kemungkinan kematian. Di bibir para gadis tergenggam doa-doa, berharap agar pria-pria yang mereka cintai dapat kembali dengan selamat. Tak ada yang bisa menghapus kegelisahan mereka, karena setiap kepergian adalah potensi kehilangan yang tak terbayangkan.

       Siapa yang akan menghangatkan tubuh mereka saat musim hujan tiba, jika pria-pria yang mereka cintai lenyap tanpa jejak? Siapa yang akan melanjutkan warisan kegagahan dari leluhur mereka yang perkasa?. Pertanyaan-pertanyaan ini selalu menggantung di udara, menggoyahkan hati para wanita yang telah terbiasa hidup dalam bayang-bayang perang dan pengorbanan.

       Ketika kabar kemenangan datang dan pria-pria muda kembali dari perang dengan selamat, hati gadis-gadis itu diliputi perasaan lega. Senyum merekah di wajah mereka, dan tarian-tarian sukacita mengiringi kepulangan pria-pria perkasa itu. Pukulan gong dan tufu[2] menggelegar di langit penuh semangat, mengumandangkan keberhasilan mereka dalam menjaga tanah air dari ancaman musuh.

       Api unggun yang besar akan dinyalakan, melambangkan kobaran semangat yang tidak pernah pudar. Mereka lalu mengelilinginya dengan lengan yang bergandengan sambil menyairkan lagu-lagu tentang keperkasaan melawan angkara murka. Mereka menyebutnya sebagai Bonet.

       Di pulau Timor yang keras ini, di tengah perjuangan yang tak ada habisnya, cinta dan pengorbanan terus bersemi. Wanita-wanita Timor tidak hanya menjadi saksi, tetapi juga bagian yang tak terpisahkan dari kekuatan dan keberanian para ksatria. Dalam kesederhanaan hidup, mereka menemukan kekuatan untuk melangkah maju, menjaga api harapan tetap menyala sekalipun kerasnya hidup berusaha meredupkannya.

 

Funan: Rembulan yang mati

       Nama Funan[3] adalah sebuah nama yang menggambarkan kecantikan dan keanggunan dari rembulan malam yang indah. Di usianya yang genap 29 tahun, ia memancarkan pesona yang tak tertandingi di antara wanita-wanita Timor lainnya. Rambut hitamnya yang berombak panjang mengalir ke belakang punggungnya seperti sungai gelap yang mengalir di alam liar. Tubuhnya yang ramping dan anggun melengkapi kecantikan alaminya yang memikat hati siapa pun yang memandang.

       Namun, di balik keindahan fisiknya yang luar biasa, tersembunyi luka yang dalam dan kesedihan yang tak terlukiskan. Cintanya yang bersinar terang bagaikan bintang di langit telah mati dan lenyap di laut Jawa. Suaminya, Alfred Whitcome, telah tiada dalam perang di laut Batavia, dan tubuhnya tak pernah kembali ke pangkuan Funan.

       Funan tidak peduli lagi dengan segala gemuruh dan kegelisahan di sekitarnya. Baginya, dunia telah kehilangan warnanya yang paling berharga. Dia hidup dalam kesendirian yang muram, meratapi kehilangan yang tak tergantikan.

       Matanya yang bulat dan tajam, seakan-akan telah mengalami segala bentuk penderitaan dan kehilangan dalam hidupnya. Setiap tatapan matanya menangkap kedalaman jiwa yang terluka, dan setiap orang yang melihatnya dapat merasakan getaran pilu yang tersembunyi di balik kerudung kesedihannya.

Lihat selengkapnya